Rabu, Juli 3


Jakarta

Sejumlah warga Korea Selatan menghabiskan waktu di dalam sel untuk mencoba memahami anak-anak mereka yang terisolasi secara sosial.

Satu-satunya hal yang menghubungkan setiap ruangan kecil di Happiness Factory, di Korea Selatan, dengan dunia luar adalah lubang di pintu yang berfungsi untuk mengantarkan makanan.

Ponsel atau laptop tidak diperbolehkan berada di dalam sel seluas lima meter persegi ini. Setiap penghuninya harus berhadapan dengan dinding pada keempat sisi ruangan sel.


Para penghuni setiap sel memang mengenakan seragam berwarna biru seperti seragam penjara tetapi mereka bukan narapidana. Mereka sengaja datang ke tempat tersebut untuk mendapatkan “pengalaman dikurung”.

Kebanyakan dari mereka memiliki satu kesamaan – mereka memiliki seorang anak yang telah sepenuhnya menarik diri dari masyarakat.

Ilustrasi hikikomori (Foto: Getty Images/iStockphoto/Prompilove)

Sel isolasi

Orang-orang yang mengasingkan diri ini disebut sebagai hikikomori, sebuah istilah yang diciptakan di Jepang pada tahun 1990-an untuk menggambarkan penarikan diri secara ekstrem dari pergaulan remaja dan dewasa muda.

Sejak April lalu, sejumlah orang tua telah berpartisipasi dalam program pendidikan orang tua selama 13 minggu yang didanai dan dijalankan oleh organisasi non-pemerintah (LSM) Korea, Youth Foundation dan Blue Whale Recovery Centre.

Tujuan dari program ini adalah untuk mengajarkan masyarakat bagaimana berkomunikasi lebih baik dengan anak-anak mereka.

Program ini mencakup tiga hari di sebuah ruangan yang meniru sel isolasi di sebuah fasilitas di Hongcheon-gun, Provinsi Gangwon.

Harapannya, isolasi akan memberikan pemahaman yang lebih mendalam kepada orang tua tentang anak-anak mereka.

‘Penjara emosional’

Putra Jin Young-hae telah mengisolasi dirinya di kamar tidurnya selama tiga tahun.

Namun sejak dirinya menghabiskan waktu di dalam sel isolasi, Jin (bukan nama sebenarnya) sedikit lebih memahami “penjara emosional” yang dialami pemuda berusia 24 tahun itu.

“Saya bertanya-tanya kesalahan apa yang saya lakukan hingga berakhir seperti ini – dan itu menyakitkan untuk dipikirkan,” kata ibu berusia 50 tahun ini.

“Tetapi ketika saya mulai merenung, saya memperoleh kejelasan.”

Fenomena hikikomoriFenomena hikikomori (Foto: Dok. Maika Elan via BBC)

Keengganan untuk bicara

Putranya selalu berbakat, kata Jin. Kemudian Jin serta suaminya mempunyai ekspektasi yang tinggi terhadap putranya tersebut.

Namun putranya itu sering sakit-sakitan, kesulitan menjaga persahabatan, dan akhirnya mengalami kesulitan makan sehingga sulit bersekolah.

Ketika putranya mulai masuk universitas, dia tampak baik-baik saja selama satu semester – namun suatu hari, ia benar-benar menarik diri.

Melihat putranya terkunci di kamarnya, lalu mengabaikan kebersihan dan makanan, hati Jin hancur.

Meskipun putranya mungkin mengalami kecemasan, kesulitan menjalin hubungan dengan keluarga dan teman-teman, dan kekecewaan karena tidak diterima di universitas ternama, pemuda itu enggan untuk berbicara dengan Jin tentang apa yang sebenarnya salah.

Ketika Jin datang ke Happiness Factory, dia membaca catatan yang ditulis oleh anak-anak muda terisolasi lainnya.

“Karena anak saya tidak banyak bicara kepada saya, saya tidak tahu apa yang ada dalam pikirannya,” kata Jin.

“Membaca catatan itu membuat saya sadar, ‘Ah, dia melindungi dirinya dengan diam karena tidak ada yang memahaminya.'”

Park Han-sil (bukan nama sebenarnya) datang ke Happiness Factory untuk memahami putranya yang berusia 26 tahun. Dia memutuskan semua komunikasi dengan dunia luar tujuh tahun lalu.

Setelah beberapa kali kabur dari rumah, kini ia berada di rumah tapi jarang keluar kamar.

Park membawa putranya itu ke konselor dan menemui dokter – namun dia menolak meminum obat kesehatan mental yang diresepkan dan menjadi terobsesi dengan bermain video game.

Hubungan interpersonal

Meskipun Park masih kesulitan untuk berkomunikasi dengan putranya, perempuan itu mulai lebih memahami perasaan putranya melalui program isolasi.

“Saya menyadari bahwa penting untuk menerima kehidupan anak saya tanpa memaksanya mengikuti pola tertentu,” ujarnya.

Survei Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Korsel terhadap 15.000 anak berusia 19-34 tahun pada tahun 2023 menemukan lebih dari 5% responden melakukan isolasi mandiri.

Jika angka ini mewakili populasi Korea Selatan yang lebih luas, berarti sekitar 540.000 orang berada dalam situasi serupa.

Hasil survei menunjukkan alasan paling umum adalah:

• kesulitan mencari pekerjaan (24,1%)

• masalah dengan hubungan interpersonal (23,5%)

• masalah keluarga (12,4%)

• masalah kesehatan (12,4%)

Di Jepang, gelombang pertama hikikomori pada tahun 1990-an telah menyebabkan demografi masyarakat paruh baya bergantung pada orang tua mereka yang lanjut usia.

Upaya untuk menghidupi anak-anak yang sudah dewasa hanya dengan uang pensiun telah menyebabkan beberapa orang lanjut usia jatuh ke dalam kemiskinan dan depresi.

Prof Jeong Go-woon, dari Departemen Sosiologi Universitas Kyung Hee, mengatakan ekspektasi masyarakat Korea terhadap pencapaian besar yang harus dicapai pada periode yang ditentukan semakin memperkuat kecemasan kaum muda – terutama pada saat stagnasi ekonomi dan minimnya lapangan kerja.

Pandangan bahwa prestasi seorang anak adalah keberhasilan orang tua turut menyebabkan seluruh keluarga tenggelam dalam isolasi.

Dan banyak orang tua menganggap kesulitan yang dihadapi anak mereka sebagai kegagalan dalam mendidik, sehingga menimbulkan rasa bersalah.

“Di Korea, orang tua sering kali mengungkapkan cinta dan perasaan mereka melalui tindakan dan peran praktis dibandingkan ekspresi verbal,” kata Prof Jeong.

“Orang tua membiayai biaya sekolah anak-anak mereka melalui kerja keras adalah contoh khas budaya Konfusianisme yang menekankan tanggung jawab.”

Beberapa orang tua mengatakan mereka mulai memahami anak-anak mereka yang terisolasi dengan lebih baik sejak mengikuti program ini.

(msl/msl)

Membagikan
Exit mobile version