Kamis, Oktober 3


Jakarta

Kontribusi sektor industri terhadap ekonomi nasional tercatat kian menciut dari tahun ke tahun, alias mengalami deindustrialisasi. Kondisi ini dinilai menjadi salah satu faktor yang membuat banyak pekerja di Indonesia memiliki penghasilan rendah atau gaji rata-rata Rp 1,7 juta per bulan.

Deputi III Kantor Staf Presiden (KSP) Bidang Perekonomian Edy Priyono menjelaskan pada dasarnya suatu negara secara alami akan mengalami proses transformasi perekonomian, yang mulanya didominasi oleh sektor pertanian, kemudian berganti dengan dominasi sektor industri, baru di tahap akhir adalah dominasi sektor jasa.

“Jadi sebenarnya yang dipersoalkan bukan deindustrialisasinya, karena kalau deindustrialisasi itu kan proses alamiah yang tadi saya sampaikan. Karena pada akhirnya perekonomian semakin maju, itu semakin besar peranan dari sektor jasa,” kata Edy dalam seminar ‘Evaluasi Satu Dekade Pemerintahan Jokowi’, Kamis (3/10/2024).


Namun yang menjadi permasalahan adalah proses dominasi sektor jasa di Indonesia terhadap perekonomian nasional terjadi jauh lebih cepat, sebelum sektor industri tumbuh stabil. Akibatnya Indonesia mengalami deindustrialisasi dini sejak 2001.

Ia menilai kondisi ini terus berlanjut, dan belum bisa diselesaikan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam 10 tahun terakhir. Terutama dalam beberapa tahun ke belakang saat sektor jasa Tanah Air terus berkembang, namun sektor industri malah kian tergerus.

“Tetapi biasanya dominasi sektor jasa itu terjadi karena sektor jasanya tuh makin naik sementara industrinya stabil. Di kita nggak, industrinya ini turun, peran sektor industri terhadap PDB itu turun,” ucap Edy.

“Nah di kita, deindustrialisasinya terlalu dini, sebelum mencapai level make sure, industri kita sudah tidak kompetitif lagi. Sementara sektor jasa yang berkembang, itu jasa-jasa yang kalau boleh dikatakan tidak menjamin kesejahteraan. Nah ini juga menjadi tantangan tersendiri,” sambungnya.

Menurutnya kondisi ini secara langsung dapat memengaruhi pembukaan lapangan kerja baru di Indonesia, yang mana selama Jokowi menjabat sebagai presiden rata-rata hanya tercipta 2 juta lapangan pekerjaan per tahun. Padahal angka angkatan kerja baru di Indonesia setiap tahun rata-rata mencapai 2,5 juta orang.

“Ini juga terkait dengan apa yang terjadi di pasar kerja. Lapangan kerja yang tercipta setiap tahun hanya sekitar 2 juta, itu tidak cukup, benar. Karena jumlah angkatan kerja baru di kita itu rata-rata setiap tahun 2,5 juta,” jelas Edy.

“Jadi setiap tahun tuh ada 2,5 juta (orang) pencari kerja baru. Jadi kalau kita tidak menghasilkan lapangan kerja baru di atas itu, akan ada masalah,” tambahnya lagi.

Akibatnya, mereka yang tidak mendapatkan lapangan pekerjaan formal beralih ke sektor pekerjaan informal seperti buruh lepas atau tidak tetap hingga pekerja keluarga yang tidak dibayar (unpaid family worker).

Edy mengatakan secara umum banyaknya pekerja informal ini tidak mempengaruhi angka pengangguran nasional. Namun dominasi pekerja informal ini menurutnya dapat menjadi masalah jika dilihat dari sisi kesejahteraan masyarakat, di mana rata-rata pendapatan para pekerja informal ini hanya Rp 1,7 juta per bulan.

“Kalau angka pengangguran kita baik-baik saja, tapi lebih tercermin di sini, yaitu dominasi sektor informal. Sekitar 60% dari pekerja kita saat ini adalah pekerja di sektor informal dengan penghasilan sangat terbatas, rata-rata ya. Memang ada pekerja informal yang sejahtera ya ada,” ucapnya.

“Kita terlalu besar, 60% dari pekerja kita adalah pekerja informal dengan rata-rata penghasilan hanya Rp 1,7 juta per bulan dan ini memang masalah,” terang Edy lagi.

Simak juga Video ‘Heboh Gaji Pekerja Dipotong 3% untuk Iuran Tapera, Cek Faktanya’:

[Gambas:Video 20detik]

Saksikan Live DetikSore:

(fdl/fdl)

Membagikan
Exit mobile version