Jakarta –
Asosiasi ojek online (ojol) Garda Indonesia protes soal biaya potongan aplikasi yang makin tak masuk akal. Lantas, seberapa banyak penghasilan ‘pasukan hijau’ yang dipangkas aplikator dari setiap orderan?
Ketua Umum (Ketum) Garda Indonesia, Raden Igun Wicaksono mengatakan, aplikator seperti Gojek dan Grab memangkas 30 persen dari penghasilan utuh driver. Sehingga, mereka hanya menerima 70 persen dari upah jasa pengantaran.
“Betul, penghasilan (utuh) driver yang dipotong. Jadi dari nilai uang yang masuk ke dompet digital driver dipotong perusahaan aplikator 30 persen,” ujar Raden Igun Wicaksono kepada detikOto, Rabu (15/1).
Ojol. Foto: Agung Pambudhy
|
Sebagai gambaran kasar, seandainya tarif jasa yang dibayar kustomer Rp 20 ribu, maka dana yang benar-benar masuk ke dompet ojol hanya sekira Rp 14 ribu. Nah, makin besar bayarannya, makin besar juga potongannya.
Berkaca dari kenyataan tersebut, Garda Indonesia melakukan protes keras terhadap pemerintah yang dirasa tak bisa menindak aplikator-aplikator nakal. Menurut Igun, aplikator tak boleh memotong lebih dari 20 persen penghasilan ojol.
“Berulang kali kami protes keras atas potongan biaya aplikasi yang sudah sangat tidak manusiawi dan melanggar regulasi yang tercantum dalam Kepmenhub KP nomor 1001 tahun 2022, di mana potongan aplikasi maksimal 20 persen,” tuturnya.
“Namun, fakta yang terjadi di lapangan, potongan aplikasi yang diterapkan dua perusahaan besar melebihi 20 persen, bahkan hingga lebih dari 30 persen. Namun, tidak ada tindak lanjut sanksi dari regulator atau dari Kementerian Perhubungan,” tambahnya.
Kondisi tersebut, kata Igun, membuat penghasilan ojol semakin tipis. Sehingga, untuk menambah penghasilan, mereka terpaksa ‘kerja rodi’ dengan menghabiskan lebih banyak waktu dan tenaga.
“Akibat potongan yang besar, rekan-rekan pengemudi ojol memforsir jam kerja dan waktu istirahatnya dipakai untuk bekerja lebih keras agar pendapatannya bisa memenuhi nafkah harian,” kata dia.
Respons Kemenhub
Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik (BKIP) Kemenhub Budi Rahardjo menjelaskan, pihaknya hanya berwenang memberikan rekomendasi batasan potongan dari aplikator. Namun, kebijakan lanjutannya tetap berada di tangan Kementerian Komunikasi Digital (Komdigi).
“Dulu peraturan dibuat karena ada kepentingan dengan transportasi, walaupun aplikator di bawah Komdigi. Maka kita ke Komdigi hanya memberikan rekomendasi agar Komdigi memberikan teguran kepada aplikator. Jadi Kemenhub tidak bisa secara langsung,” ujar Budi Rahardjo melalui keterangan resminya, dikutip Rabu (15/1).
|
Kemenhub memiliki aturan batasan potongan perusahaan aplikator yang tertuang dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 1001 tahun 2022 tentang Perdoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Moto yang Digunakan untuk Kepentingan Nasyarakat yang Dilakukan dengan Aplikasi.
Budi membenarkan, ada permintaan dari komunitas ojol mengenai potongan aplikasi yang terlalu besar. Bahkan, pihaknya juga telah melalukan koordinasi terkait keluhan tersebut secara internal. Namun, Kemenhub tak bisa secara langsung mengumpulkan data di lapangan untuk kemudian direalisasikan menjadi kebijakan.
“Biasanya kita dapatnya dari mitra, mitranya aplikator. (Mengawasi perusahaan aplikasi) kita tidak punya kemampuan atau kewenangan, itu masuknya karena mereka di bawah kewenangan Komdigi,” kata Budi.
(sfn/dry)