Selasa, November 19

Jakarta

Sejak awal November Gunung Lewotobi mengalami erupsi, tepatnya sejak Senin dini hari, 4 November 2024. Aktivitas vulkanik dari gunung yang terletak di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, ini tentunya berdampak pada masyarakat di wilayah sekitar.

Disebutkan ahli vulkanologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Dr. Mirzam Abdurrachman, S.T., M.T., bahwa setelah lebih dari dua dekade dalam kondisi relatif tenang, gunung api ini kembali aktif dan memunculkan potensi bahaya besar bagi lingkungan sekitarnya.

“Gunung api yang lama beristirahat seperti Lewotobi ini akan mengakumulasi volume dan tekanan magma. Jadi ketika meletus, letusannya bisa jauh lebih besar dari biasanya,” ujar Mirzam seperti dikutip dari situs resmi ITB.


Mengenal Gunung Api Lewotobi

Lewotobi mempunyai keunikan, yakni memiliki dua puncak khas yang sering dijuluki Gunung Lewotobi Laki-laki dan Gunung Lewotobi Perempuan. Pada erupsi kali ini, diketahui Gunung Lewotobi Laki-laki lebih dulu menunjukkan aktivitas vulkanik.

Seperti gunung api yang lama tertidur lainnya, Lewotobi punya riwayat erupsi yang panjang. Erupsi pertama yang tercatat secara resmi terjadi pada tahun 1861, diikuti letusan lain pada 1865, 1868, 1907, dan 1914. Setelah istirahat panjang, gunung ini kembali aktif pada 1932, 1939, dan 1940, hingga erupsi terakhir pada 2002 sebelum kini aktif kembali di 2024.

“Interval yang lebih panjang antara letusan menandakan akumulasi energi yang lebih besar dalam gunung,” kata Mirzam.

Secara geologis, Gunung Lewotobi terletak di atas kerak samudera, yang biasanya menghasilkan letusan efusif dengan lava mengalir tenang. Namun, letusan kali ini mengejutkan para ahli dengan karakter eksplosif yang memunculkan abu vulkanik yang keluar secara terus menerus sampai jarak 6-7 kilometer.

Dijelaskan Mirzam, hal ini disebabkan perubahan komposisi magma, dari basaltik yang cair menjadi andesitik yang kental, dengan kandungan Silika (SiO2) tinggi.

“Kandungan SiO2 yang tinggi membuat magma lebih kental dan berpotensi menghasilkan letusan eksplosif,” jelasnya.

Erupsi November 2024

Sejak awal November 2024, Lewotobi menunjukkan peningkatan aktivitas seismik yang signifikan. Pada 3 November 2024, erupsi besar memunculkan kolom abu setinggi beberapa kilometer, yang disusul oleh aktivitas fluktuatif, naik-turun dalam waktu singkat.

“Biasanya, gunung api yang mulai ‘sembuh’ menunjukkan penurunan aktivitas secara bertahap. Namun, pada Lewotobi, intensitasnya justru naik-turun seperti ‘batuk’ yang belum tuntas,” ungkap Mirzam.

Kondisi ini, lanjutnya, menandakan bahwa aktivitas vulkanik di dalam dapur magma atau perut gunung belum stabil dan memerlukan pemantauan ketat.

Dalam langkah mitigasi, pemerintah telah mengevakuasi ribuan warga dari radius 9 kilometer puncak Gunung Lewotobi, untuk menghindari risiko dari aktivitas vulkanik.

Mengingat saat ini sebagian besar wilayah Indonesia memasuki musim hujan, Mirzam menguingatkan bahwa bahaya utama selain letusan eksplosif adalah lahar dingin yang terbentuk saat hujan deras bercampur dengan abu vulkanik yang mengendap di lereng gunung.

“Musim hujan bisa menambah risiko letusan, karena air yang meresap ke dalam pori batuan meningkatkan tekanan di dalam gunung, menurunkan daya dukung batuan penutup serta mengerosi tudung gunung api yang membuat potensi letusan menjadi lebih mudah terjadi. Selain itu, endapan abu di lereng yang terkena air bisa berubah menjadi lahar dingin atau lahar hujan yang mematikan,” paparnya.

Mirzam memberikan analogi curah hujan ekstrem ibarat minyak panas yang terkena tetesan air. “Seperti minyak panas yang terkena tetesan air, hujan bisa memicu letusan mendadak jika air meresap ke dalam sistem magma. Selain itu, curah hujan ekstrem dapat mengikis lereng, menambah risiko longsor pada dinding lava yang rapuh,” urainya memberikan gambaran.

Mitigasi Bencana

Masyarakat yang berada dalam radius beberapa kilometer dari tempat kejadian, diingatkan untuk segera mengikuti instruksi evakuasi dari pihak berwenang dan menghindari area yang rawan seperti lereng dan bantaran sungai yang berpotensi menjadi jalur lahar dingin.

Pemakaian masker basah bagi warga setempat juga penting untuk terus menerus diingatkan. “Abu vulkanik yang berbahaya bagi pernapasan perlu diantisipasi dengan masker basah. Abu vulkanik yang terkena air akan mengeras seperti semen, sehingga masker basah membantu mencegah masuknya abu ke paru-paru,” sebutnya.

Mirzam juga menyebutkan, aktivitas vulkanik terpantau di beberapa gunung lain di Indonesia, termasuk Gunung Merapi, Gunung Semeru, Gunung Dukono, dan Gunung Ibu. Para ahli menduga, peningkatan aktivitas gunung-gunung tersebut ada kemungkinan terkait dengan pengaruh cuaca ekstrem.

Untuk memahami aktivitas vulkanik yang belum stabil ini, tim dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) terus melakukan pemantauan dengan analisis sampel batuan dan komposisi magma.

“Sampel batuan dapat memberikan informasi tentang tekanan dalam magma, membantu kita memprediksi apakah aktivitasnya akan segera berakhir atau justru meningkat,” tutup Mirzam.

(rns/fay)

Membagikan
Exit mobile version