Jakarta –
Pakar polimer dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Prof Dr Ir Akhmad Zainal Abidin, menuding pelabelan ‘BPA Free’ pada kemasan makanan dan minuman tidak mendidik. Pasalnya, BPA atau bisphenol A bukan satu-satunya bahan yang bisa berdampak bagi kesehatan.
“Jangan sampai tersesat, atau menyesatkan,” pesan Prof Akhmad dalam diskusi detikcom Leaders Forum ‘Membedah Disinformasi Dampak BPA bagi Kesehatan’ di e+e Coffee Kitchen Semanggi, Rabu (17/7/2024).
Produk dengan kandungan BPA, menurut Prof Akhmad seharusnya tetap aman selama kadarnya masih sesuai rentang yang ditetapkan oleh BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). Peraturan BPOM No 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan menetapkan, batas migrasi maksimal BPA adalah sebesar 0,6 bagian perjuta (bpj).
Selain itu, edukasi yang benar tentang cara penggunaan produk berbahan BPA juga akan meminimalkan risiko migrasi senyawa dari wadah atau kemasan ke makanan atau minuman. Misalnya dengan tidak memanaskannya secara berlebihan.
Pelabelan ‘BPA Free‘, menurut Prof Akhmad dapat mengecilkan risiko paparan bahan berbahaya selain BPA. Masing-masing jenis plastik, menurutnya punya kandungan yang pada kadar tertentu juga tidak lebih aman dibanding BPA.
“Kalau Polyethylene Terephthalate, dikasih (label) ‘BPA Free‘, benar tetapi useless, karena bahan berbahaya di sana adalah etilen glikol,” kata Prof Akhmad.
Jenis plastik yang lain, Prof Akhmad mencontohkan, punya kandungan formaldehide yang bisa menyebabkan kebutaan. Ada juga yang mengandung senyawa stirene, yang juga tidak lebih aman jika kadarnya tidak sesuai dan pemakaiannya tidak tepat.
“Tanda-tanda itu (BPA Free) bisa tidak mendidik. Sebenarnya bahan berbahaya yang dilarang oleh BPOM itu banyak, puluhan. Harusnya cukup dengan label BPOM bisa menjamin semuanya itu aman, jangan ditulis satu-persatu,” tandas Prof Akhmad.
(up/naf)