Jakarta –
Penghapusan pajak progresif sekaligus bea balik nama kendaraan bekas bisa memberikan dampak signifikan. Masyarakat disebut bisa lebih taat pajak.
Pajak progresif dan bea balik nama kendaraan bekas sering dianggap memberatkan. Hal ini juga yang menjadi pemicu masyarakat enggan memenuhi kewajibannya sebagai pemilik kendaraan. Keberadaan pajak progresif misalnya, membuat masyarakat mengakali kepemilikan kendaraan supaya terhindar membayar pajak yang tinggi.
Untuk diketahui, pajak progresif merupakan sistem pajak yang diterapkan dengan prinsip bahwa tarif pajak akan meningkat seiring dengan tingkat penghasilan atau kekayaan seseorang. Sistem ini dirancang untuk menciptakan tingkat keadilan yang lebih besar dalam pemungutan pajak. Tujuannya, agar seseorang dengan penghasilan atau kekayaan yang lebih tinggi membayar proporsi pajak yang lebih besar daripada individu dengan penghasilan atau kekayaan yang lebih rendah. Di sisi lain, penerapan pajak progresif juga dilakukan untuk mengendalikan laju pertumbuhan kendaraan di suatu daerah.
Pada kenyataannya, pertumbuhan kendaraan tetap terjadi karena banyak yang mengakali pajak progresif dengan menggunakan KTP orang lain. Pajaknya pun tak dibayar lantaran bukan milik aslinya.
“Kan progresif itu kan maksudnya supaya orang nggak punya mobil banyak tapi kan nggak bisa. Orang Indonesia punya duit beli mobil. Orang Indonesia nih kaya-kaya cuma nggak mau pakai namanya dia, takut progresif,” ujar Direktur Registrasi dan Identifikasi Korlantas Polri Brigjen Pol Yusri Yunus kepada detikOto belum lama ini.
Selain pajak progresif, bea balik nama kendaraan bekas (BBN2) juga sering dikeluhkan. Biaya yang dikeluarkan untuk mengurus balik nama lebih mahal dari pajak kendaraannya itu sendiri. Tak heran kalau banyak yang menanti pemutihan agar tak dibebankan biaya BBN dan hanya membayar pajaknya saja. Namun, pemutihan tak digelar setiap saat karena tergantung dengan kebijakan daerah. Alhasil, yang niatnya menunggu pemutihan tidak jarang malah kelewatan momen tersebut. Pajak pun jadi tak terbayarkan.
“Tunggunya pemutihan, setahun, 2 tahun, 3 tahun, 4 tahun. Nah orang tunggu pemutihan, pemutihan, pemutihan karena dia mahal BBN2 udah dia nggak balik nama,” tutur Yusri lagi.
Dampak Penghapusan Pajak Progresif dan Bea Balik Nama Kendaraan Bekas
Alhasil, tingkat kepatuhan masyarakat membayar pajak pun jadi minim. Dalam catatan Korlantas, dari total 165 juta kendaraan terdaftar, yang memperpanjang STNK 5 tahunan tak sampai setengahnya atau sekitar 69 juta unit. Sementara itu 96 juta unit kendaraan pajaknya tak dibayarkan.
Yusri menilai, untuk membuat masyarakat taat membayar pajak salah satu solusinya adalah menghapus bea balik nama kendaraan bekas dan juga pajak progresif. Masyarakat kata Yusri jadi tak merasa dibebankan bila kedua instrumen pajak itu dihapuskan. Saat ini diketahui sudah ada beberapa daerah yang menghapus BBN2 dan pajak progresif. Tapi menurut Yusri, supaya masyarakat lebih taat harus serempak diterapkan di seluruh daerah.
“Balik nama itu kan mahal tuh. Kalau semuanya BBN2 udah nol, pasti semua bayar pajak lah. Kalau progresif jadi nol berarti orang pada balik nama semua dong,” beber Yusri.
Dengan patuhnya masyarakat membayar pajak kata Yusri, daerah pun mendapat pemasukan yang signifikan. Pembangunan infrastruktur di daerah-daerah juga bisa berjalan dengan lancar.
“Gimana kalau orang Indonesia nih patuh aja 80-90 persen, waduh top banget pemasukan, tapi kan masuknya ke Pemda PAD (Pendapatan Asli Daerah) bukan ke polisi,” pungkas Yusri.
(dry/din)