Minggu, Oktober 6


Bandung

Suku Sunda mengenal upacara kematian dengan nama Nyusur Tanah. Bagaimana tata cara upacara ini? Mari simak!

Bagi masyarakat Sunda, kematian adalah sesuatu yang istimewa dan layak dikenang. Karenanya, ada upacara tradisional yang menyertai prosesi penguburan seseorang.

Ada upacara yang disebut “Nyusur Tanah”. Nyusur secara bahasa berarti menelusuri. Tapi dalam hal ini, Nyusur Tanah, menurut Kamus Sundadigi, adalah sedekah di hari kematian.


Nyusur Tanah masih dipraktikkan hingga saat ini. Menurut catatan penulis, hingga tahun 2022, warga di Kecamatan Situraja, Kabupaten Sumedang masih melakukan upacara ini.

Upacara nyusur tanah dilakukan sesaat setelah orang-orang yang menguburkan jenazah kembali dari kuburan. Tempat diadakan acara ini adalah di rumah keluarga orang yang meninggal.

Di Sunda, upacara Nyusur Tanah lekat sekali dengan Islam. Ini semacam upacara tahlilan singkat, sebelum dilaksanakan tahlilan 7 hari, 40 hari, hingga 100 hari kematian.

Namun, Nyusur Tanah sejatinya adalah acara pamungkas dari keseluruhan prosesi penguburan jenazah di Sunda. Prosesi pemulasaraan jenazah tentu diawali dengan memandikan, mengafani, hingga menguburkan.

Dalam buku “Upacara Tradisional Daerah Jawa Barat” terbitan Departemen P dan K tahun 1984 dijelaskan rincian upacara pemulasaraan jenazah itu yakni, dimulai dengan upacara ngamandian (upacara memandikan mayat).

Ini ditujukan agar mayat tersebut bersih bebas dari kotoran atau najis. Selain itu mayat tersebut sebelum dikuburkan harus suci, oleh karena itu setelah dimandikan, mayat itu kemudian diwuduan (diwudukan).

Setelah ngamandian, ada upacara mungkus (upacara mengkafani mayat). Ini dilakukan, selain sebagai perintah bagi orang Islam, juga dimaksudkan untuk memperlihatkan bahwa orang yang meninggal itu telah bersih dan suci sebelum menghadap Tuhan.

Lalu ada upacara nyolatan (upacara sholat untuk mayat) yang bertujuan untuk mendoakan arwah orang yang meninggal agar diampuni Tuhan atas segala dosa-dosanya, dan agar diterima amal baiknya.

Jenazah lalu dikuburkan. Setelah upacara penguburan selesai, barulah ada upacara nyusur tanah.

Kemudian, dilanjutkan dengan tahlilan selama 7 hari berturut-turut. Tahlilan akan ada lagi di hari ke-40 kematian atau disebut Matang Puluh.

“Matang puluh, tahlilan yang dilaksanakan mengenang 40 hari kematian dan mengirim berbagai makanan dan pakaian kepada orang yang telah mengurus jenazah,” tulis situs tersebut.

Tahlilan akan ada kembali di hari ke-100 kematian, atau disebut Natus. Kegiatannya sama, berbagi makanan dan pakaian kepada kerabat dan mereka yang telah rela mengurus jenazah.

——-

Artikel ini telah naik di detikJabar.

(wsw/wsw)

Membagikan
Exit mobile version