Selasa, Maret 11


Jakarta

Waktu terbit matahari di beberapa wilayah belahan Bumi utara sangatlah panjang.Terutama pada wilayah Arktik (yang sebagian besar wilayahnya berupa lautan dengan lapisan es tebal).

Misalnya, matahari di kota Hammerfest, Norwegia, yang bahkan hampir tidak pernah terbenam selama musim panas. Bagi Muslim yang menjalankan ibadah puasa, logikanya mereka akan punya waktu puasa yang sangat panjang di sana.

Lalu, bagaimana umat Muslim yang berpuasa di sana? Apakah mereka menjalankan waktu puasa yang panjang?


Waktu Puasa Negara di Wilayah Arktik

Negara-negara yang termasuk dalam wilayah Arktik antara lain, Alaska (bagian dari Amerika Serikat), Rusia, Kanada, Greenland (Denmark), Islandia, Norwegia, Finlandia, dan Swedia.

Beberapa dari negara tadi memiliki wilayah yang berbatasan langsung dengan wilayah Arktik (yang selalu tertutup es), karena berada di sekitar Kutub Utara.

Kota-kota di kawasan Arktik yang berada di wilayah lingkar kutub utara seperti Ulvik/Eidfjord, Isof Jidur, Longyearbyen, Tromso, Leknes, Akureyri, Hammerfest dan beberapa lainnya punya kondisi unik saat musim panas. Di mana, di tempat-tempat tersebut matahari hampir tidak pernah terbenam dari biasanya.

Kalau biasanya di Indonesia waktu puasa hanya sekitar 12-13 jam, di daerah-daerah Arktik ada yang punya waktu puasa selama 23 jam. Lamanya waktu tersebut disebabkan karena waktu matahari yang begitu panjang.

Dari catatan detikTravel yang merangkum dari berbagai sumber, daerah seperti Hammerfest punya waktu sahur pada satu pagi dan berbuka sekitar 23.54 malam (nyaris 23 jam). Secara logika, hal ini tentu sangat ekstrem. Pasalnya, waktu berbuka begitu dekat dengan sahur.

Cara Berpasa Negara Belahan Bumi Utara

Menjalankan puasa negara-negara belahan Bumi utara memiliki tantangan tersendiri, karena perbedaan durasi siang dan malamnya. Kondisi tersebut membuat umat Muslim perlu menyesuaikan jadwal puasa agar tidak memberatkan mereka.

Mengutip website resmi metrouniv.ac.id beberapa waktu lalu dalam artikel milik Direktur Pascasarjana IAIN Metro, Dr. Mukhtar Hadi, M.Si, jika dilihat berdasarkan ketetapan hukum yang bersumber dari Al-Quran dan al Sunnah (nash), pada dasarnya hampir tidak ada dalil yang bisa dijadikan dasar peringanan.

Kita tahu, umumnya patokan waktu puasa ada di antara terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Namun, para ulama memberikan ijtihad atau fatwa mengenai kondisi tersebut:

  1. Orang yang berada dalam wilayah tersebut tetap berpuasa sebagaimana perjalanan matahari. Artinya, mereka berpuasa tanpa keringanan dan sesuai dengan nash-nya (hukum mutlak yang harus ditaati).
  2. Umat muslim yang berpuasa dalam wilayah yang dimaksud bisa menyesuaikan kadar puasa dengan waktu puasa yang berlaku di Madinah atau Makkah. Kedua tempat tersebut bisa dijadikan patokan berpuasa, karena menjadi tempat turunnya perintah berpuasa. Jadi, kalau waktu Madinah berbuka, maka mereka bisa ikut berbuka (meskipun wilayah matahari belum tenggelam di wilayah tersebut).
  3. 3. Orang yang berpuasa di daerah tersebut bisa menyesuaikan dengan kadar waktu yang berlaku di negara mereka ataupun negara yang dekat. Misalnya, negara yang punya keseimbangan waktu antara siang dan malamnya.

Dr. Mukhtiar Hadi juga mengatakan bahwa pandangan tersebut bukan tanpa dasar. Karena agama Islam pada prinsipnya menghendaki kemudahan bukan kesukaran.

Hal ini juga dijelaskan dalam Al Qur’an surah Al-Baqarah ayat 185, Allah SWT berfirman:

Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil). Oleh karena itu, siapa di antara kamu hadir (di tempat tinggalnya atau bukan musafir) pada bulan itu, berpuasalah. Siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya) sebanyak hari (yang ditinggalkannya) pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagi kamu dan tidak menghendaki kesukaran. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu agar kamu bersyukur.”

Mengenai hal ini, ulama dan pakar tafsir Al-Qur’an, Quraish Shihab, juga menuturkan bahwa penduduk kutub cukup mengukur puasanya dengan waktu yang ditempuh kaum muslim yang berpuasa di daerah normal. Daerah yang bisa dipilih adalah daerah yang terdekat dengan wilayah mereka. Wallahu a’lam.

(khq/fds)

Membagikan
Exit mobile version