Jumat, Januari 24


Jakarta

Seorang turis Inggris membagikan pengalaman mengerikannya saat ditahan di penjara Thailand. Ia mengisahkan kondisi buruk dan memperingatkan pelancong untuk taat aturan setempat.

Dilansir dari Thaiger, Kamis (23/1/2025) turis Inggris itu merupakan mantan prajurit berusia 29 tahun yang enggan disebutkan namanya. Dia menghabiskan waktu 15 hari di dua tempat tahanan, yakni sel polisi dan pusat deportasi Bangkok, setelah visa kedatangannya kedaluwarsa.

“Satu-satunya cara untuk menggambarkannya adalah seperti neraka,” ujarnya.


Ditahan bersama sekitar 130 orang lain di ruang sempit tanpa ventilasi, ia hanya diberi kesempatan untuk keluar selama satu jam setiap minggunya. Kondisi di dalam penjara sangat suram, menurutnya penjaga memberikan makanan dalam nampan yang dicuci di lantai kamar mandi kotor.

“Di manapun saya tinggal, semut api dan kecoak datang menyerbu. Sampah menumpuk di sudut-sudut ruangan,” ujarnya.

Awal petualangannya di Thailand dimulai dengan harapan tinggi pada bulan April, saat ia berencana menetap dan memulai usaha di sana. Namun, impian tersebut runtuh pada bulan November, ketika pertengkaran dengan mantan kekasih menyebabkan dirinya terjebak dalam masalah hukum di Pattaya.

Polisi yang mengetahui status visa-nya menangkap dan membawanya ke pengadilan atas tuduhan tinggal lebih lama dari yang diizinkan. Ia mengungkapkan bahwa polisi sangat brutal, bahkan dua petugas menyergapnya di toilet umum, memukulinya, dan membuangnya ke dalam bak truk sambil memborgolnya.

Bingung dan dalam kondisi terluka, ia merasa mungkin menderita gegar otak, tanpa mengetahui apa yang terjadi hingga seorang teman selnya yang berasal dari Rusia, memberitahunya tentang prosedur yang akan dijalani.

“Mereka bahkan meminjamkan saya uang untuk membayar denda pengadilan, karena jika tidak, keadaan akan semakin buruk,” ceritanya.

Dijebloskan ke dalam sel kecil berukuran enam kali empat kaki bersama delapan tahanan lainnya, ia terpaksa menyuap agar kondisi hidupnya sedikit lebih mudah. Para tahanan berdesakan, berjuang untuk tidur dan bergerak, tanpa ada ruang untuk berbaring dengan nyaman.

“Ada seorang gadis hamil dari Laos yang terus menangis, kepalanya sering menempel di lantai. Itu sangat menyedihkan, apalagi di sel lain yang berukuran sama, ada 13 orang yang dipenjara bersama,” kata dia.

Setelah delapan hari yang melelahkan di Pattaya, ia dipindahkan ke pusat deportasi Bangkok. Di sana, kondisinya semakin buru, dengan hanya empat toilet kotor untuk 130 tahanan. Mereka hanya diberi seember air dingin untuk membersihkan diri.

Selama akhir pekan, mereka hanya memiliki satu jam untuk keluar dan menghirup udara segar di area terbuka yang sempit, hampir tanpa waktu untuk beristirahat.

“Satu-satunya makanan yang bisa saya dapatkan adalah mi instan yang dijual di sudut,” dia menambahkan.

Beruntung, ibunya berjuang mati-matian dengan Kedutaan Inggris untuk membebaskannya dan akhirnya berhasil memulangkannya. Biaya tinggal di pusat deportasi adalah 500 baht (Rp 237 ribu) per malam, belum termasuk biaya tiket pesawat pulang.

Menariknya, pria Inggris itu berhasil menyelundupkan ponsel ke dalam sel yang disembunyikan di dalam tisu bayi, untuk mendokumentasikan kondisi di penjara.

“Begitu Anda terkunci di dalam, Anda tidak bisa menghubungi siapa pun dan tidak bisa mengakses uang. Seseorang di luar harus berjuang untuk Anda. Beruntung saya bisa menyelundupkan ponsel dan ibu saya menghubungi kedutaan, kalau tidak, saya akan tetap terjebak di sana,” ujarnya.

“Jangan ambil risiko memperpanjang visa dengan berpikir itu hanya denda kecil. Tidak ada gunanya menjadi korban keadaan seperti ini,” ia memperingatkan.

Merasa kecewa atas pengalamannya, ia menegaskan tidak akan pernah kembali ke Thailand. Ia mengkritik sistem hukum negara itu sebagai skema penghasil uang yang mengeksploitasi turis, terutama karena pariwisata yang menjadi tulang punggung ekonomi Thailand, sering kali memanfaatkan orang asing melalui penahanan semacam itu.

(upd/fem)

Membagikan
Exit mobile version