Sabtu, September 28

Jakarta

Tuvalu adalah sebuah negara kecil di Samudera Pasifik yang semakin terancam punah. Sekitar 11.000 penduduknya, yang tinggal di sembilan atol yang tersebar di Pasifik, kehabisan waktu. Ada apa gerangan?

Tuvalu, yang rata-rata ketinggiannya hanya 2 meter, mengalami kenaikan permukaan laut 15 cm selama tiga dekade terakhir. Itu satu setengah kali lipat rata-rata global. Ilmuwan NASA memproyeksi tahun 2050, pasang surut harian akan menenggelamkan setengah ibukota Funafuti, rumah 60% penduduk Tuvalu.

Saat ini, dampaknya pun telah terasa. Dikutip detikINET dari Reuters, Sabtu (28/9/2024) warga Tuvalu sudah bergantung pada hujan untuk kebutuhan air. Kebun pun ditinggikan untuk menanam sayuran, karena genangan air asin merusak air tanah.


Berbagai antisipasi sudah dilakukan. Perjanjian dengan Australia yang diumumkan tahun 2023, menawarkan 280 penduduk Tuvalu setiap tahun untuk bermigrasi ke Australia mulai tahun depan. Namun penduduk setempat cemas bahwa relokasi akan berarti hilangnya budaya mereka.

“Beberapa orang pergi dan beberapa orang ingin tetap tinggal di sini. Ini keputusan sangat sulit. Untuk meninggalkan suatu negara, Anda meninggalkan budaya tempat Anda dilahirkan, dan budaya adalah segalanya,” cetus Maani Maani, 32 tahun, pekerja IT di kota utama Fongafale.

Untuk saat ini, Tuvalu berusaha mengulur waktu. Pembangunan tembok laut untuk menghalangi gelombang badai yang makin parah dilakukan di Funafuti. Mereka membangun 7 hektar lahan buatan, dan berencana membangun lebih banyak lagi, yang diharapkan akan melindungi mereka hingga tahun 2100.

Pada saat itu, NASA memproyeksikan kenaikan permukaan laut sebesar 1 meter di Tuvalu, atau dua kali lipatnya dalam kasus terburuk, akan membuat 90% Funafuti terendam air.

Dalam skenario Tuvalu akhirnya tenggelam, beberapa hal masih membutuhkan jawaban. Misalnya, apakah Tuvalu akan tetap menjadi negara berdaulat, padahal sudah tidak memiliki tanah atau daratan? Apakah wilayah Tuvalu, meski semuanya lautan, masih menjadi hak mereka?

Perairan Tuvalu yang kaya ikan tuna diincar penangkap ikan asing yang membayar negara tersebut sekitar USD 30 juta untuk lisensi tiap tahun, sumber pendapatan terbesarnya. Jika masyarakat internasional mengakui batas maritim Tuvalu sebagai batas permanen, hal itu membantu mereka sekalipun tidak punya daratan lagi.

(fyk/fay)

Membagikan
Exit mobile version