Sabtu, Januari 11
Jakarta

Wisata gunung tidak hanya Bogor. Wisata pegunungan ada juga Magelang, tempat kelahiranku dulu. Sayangnya, meskipun saya tumbuh besar di daerah yang dikelilingi gunung, pengalaman saya mendaki gunung bisa dibilang memalukan. Hanya beberapa gunung sedang dan gunung kecil yang pernah saya daki ketika remaja, yaitu gunung Telomoyo dan gunung Tidar.

Akhir tahun 2024 ini, saya kembali mengunjungi Telomoyo. Gunung Telomoyo sekarang sudah berbenah. Saya ingat ketika masih SMP, Telomoyo tidak seramai sekarang. Memang jalanan beraspal sampai puncak gunung sudah tersedia, akan tetapi moda untuk sampai atas gunung yang tersedia adalah motor pribadi atau jalan kaki.

Saat ini di kaki Telomoyo, sudah tersedia puluhan jip yang siap mengantar wisatawan untuk berwisata sampai puncak. Pos paling mashyur untuk naik ke Telomoyo dengan menggunakan jip adalah Dalangan.


Mohon maaf, mobil pribadi tidak boleh naik ke atas. Jip ini adalah pos pendapatan warga sekitar dari wisata Telomoyo. Lagi pula, apa gunanya menggunakan mobil pribadi? Selain membuat jalanan menjadi semrawut dan macet seperti puncak, jalanan ke atas juga sempit, berkelok-kelok dan berbatasan dengan jurang.

Awalnya, saya ingin menikmati paket seharga 700 ribu untuk menikmati sunrise di Telomoyo. Paket ini mengharuskan saya untuk tiba di Dalangan jam 4.30 pagi. Mengingat perjalanan ke Dalangan yang memakan waktu sekitar satu jam dari rumah orang tua, kami urung membeli paket ini.

Untungnya ada paket pendakian biasa seharga Rp 400 ribu, yang sudah mulai aktif sebelum jam 6 pagi. Pagi itu, puncak Telomoyo diselimuti kabut. Dengan cuaca seperti itu, tentu sunrise juga tidak kelihatan.

Waktu paling tepat untuk ke puncak Telomoyo dan menikmati sunrise adalah bulan Juli sampai September, bulan musim kemarau. Kami menyusuri jalan pegunungan yang berkelok-kelok dengan jip. Jalanan sampai puncak sudah diaspal sejak tahun 1970-an.

Pada puncak gunung Telomoyo sudah dibangun stasiun relay antenna komunikasi TVRI yang sudah dibangun cukup lama. Banyak spot menarik yang bisa dilihat dalam perjalanan puncak. Misalnya gunung Andong, sebuah gunung kecil dengan bangunan pemakaman seperti rumah permanen di puncaknya.

Akan tetapi, tidak ada pemandangan yang lebih indah dibandingkan dengan pemandangan setelah sampai puncak. Yang bisa dicapai tidak sampai 30 menit kemudian. Puncak Telomoyo, meskipun masih pagi, sudah penuh sesak seperti terminal. Banyak motor parkir di sekitar antenna komunikasi. Jip-jip pemandu juga berjejalan di pinggir jalan. Anak-anak muda, klub motor ataupun wisatawan menjejali area yang tidak begitu luas.

Warung makanan dan minuman hangat penuh mengitari area puncak. Hal ini berbeda kontras dengan waktu saya mendaki gunung ini pada masa sekolah. Waktu itu, puncak masih sangat sepi dan tidak ada penjaja makanan.

Mungkin inilah harga yang harus dibayar ketika viral. Untungnya, di puncak ada, disisakan spot khusus untuk menikmati pemandangan yang paling indah.

Dari spot bernama Taman Langit ini, kita bisa melihat hamparan pegunungan lain dari ketinggian. Puncak Ungaran, Sumbing dan Sindoro tampak megah dan gagah. Di kaki gunung Ungaran, tampak rawa pening yang berkilau. Orang-orang berkerumun dan antri untuk berfoto. Setelah itu, mereka menghela nafas dan membuang beban kehidupan.

Kabut tipis mengalir pelan di sisi lembah sehingga membentuk pelangi yang nyaris bulat sempurna. Sayangnya, pada hari itu, kami melewatkan fenomena ‘lautan awan’ sebuah fenomena ketika kabut tebal menyelimuti kaki Telomoyo, sehingga di puncak, yang tampak hanyalah hamparan puncak gunung yang di kelilingi awan.

Memang fenomena lautan awan ini sulit di prediksi. Biasanya terjadi ketika hujan deras yang kemudian mereda, dan kemudian kabut tebal menyelimuti Dalangan.

Puas dengan pemandangan, kami duduk di warung bakmie dan minuman. Kami memesan beberapa bakmie rebus, coklat dan teh hangat. Sambil mereguk makanan hangat di tengah puncak yang dingin ini, saya membatin, memang surga dunia ini nyata.

Membagikan
Exit mobile version