Jumat, Januari 17


Jakarta

Kyoto akan menaikkan pajak penginapan untuk mengatasi keluhan warga terkait lonjakan wisatawan. Pajak baru itu bertujuan mewujudkan pariwisata berkelanjutan.

Kyoto memiliki pesona keindahan dan tradisinya, kini berusaha mengatasi dampak negatif dari jumlah wisatawan yang terus meningkat. Setelah pandemi, Jepang mengalami lonjakan jumlah wisatawan mancanegara dan pada 2024, diperkirakan jumlah pengunjung akan mencapai lebih dari 35 juta, sebuah rekor baru.

Dilansir dari International Business Times, Rabu (15/1/2025) seiring dengan popularitas tempat-tempat wisata di Jepang, termasuk Kyoto, tak semua pihak menyambut baik kedatangan wisatawan dalam jumlah besar.


Kyoto yang terkenal dengan geisha berpakaian kimono dan kuil-kuil Buddha, saat ini warga setempat merasa terganggu oleh keramaian dan perilaku para wisatawan.

Dalam rencana baru itu, pajak penginapan untuk kamar dengan tarif antara 20.000 hingga 50.000 yen atau sekitar Rp 2 hingga Rp 5 juta per malam akan meningkat menjadi 1.000 yen (Rp 100 ribu) per orang per malamnya.

Untuk penginapan yang lebih mahal, yakni di atas 100.000 yen (Rp 10 juta) per malam, pajaknya akan dinaikkan sepuluh kali lipat menjadi 10.000 yen.

Pajak baru itu direncanakan mulai berlaku tahun depan setelah mendapatkan persetujuan dari dewan kota.

“Tujuan dari peningkatan pajak ini adalah untuk mewujudkan pariwisata berkelanjutan yang memberikan kepuasan tinggi bagi warga, wisatawan, dan bisnis,” pernyataan resmi dari pihak berwenang.

Di berbagai kota besar Jepang seperti Tokyo, Osaka, dan Fukuoka, wisatawan sudah dikenakan pajak penginapan beberapa ratus yen per malam. Namun, di Kyoto, keluhan warga semakin meningkat.

Banyak yang merasa terganggu dengan wisatawan yang bertindak seperti paparazzi, mengganggu para geisha dan maiko yang sedang bekerja untuk mendapatkan foto yang dapat mereka bagikan di media sosial.

Ketegangan tertinggi terjadi di distrik Gion, kawasan bersejarah di Kyoto yang terkenal dengan kedai teh tradisional dan tempat di mana geisha dan maiko menampilkan tarian dan musik. Pada tahun lalu, pihak berwenang melarang wisatawan memasuki gang-gang sempit tertentu di Gion setelah adanya protes dari penduduk setempat.

Warga juga melaporkan kejadian-kejadian tidak sopan seperti kimono maiko yang robek atau pakaian yang dirusak oleh puntung rokok yang diselipkan oleh wisatawan. Untuk mengatasi masalah ini, pada 2019, Dewan Distrik Gion memasang tanda yang melarang pengambilan foto di jalan pribadi dan memberi peringatan bahwa pelanggaran bisa dikenai denda hingga 10.000 yen.

Menurut survei terbaru, kemacetan lalu lintas dan perilaku buruk wisatawan juga menjadi masalah utama bagi warga Kyoto. Sejak pembatasan pandemi dicabut, wisatawan berduyun-duyun datang ke Jepang, tertarik oleh keindahan alam, budaya, dan juga nilai tukar yen yang lebih lemah.

Selain Kyoto, langkah-langkah serupa juga telah diambil di berbagai tempat wisata terkenal di Jepang. Misalnya, untuk mengurangi dampak pariwisata di Gunung Fuji, pihak berwenang memberlakukan biaya masuk dan membatasi jumlah pendaki yang boleh mendaki gunung tersebut setiap harinya.

Langkah itu terbukti berhasil dengan angka pendaki turun hingga 14% pada musim pendakian musim panas 2023. Di Ginzan Onsen, sebuah kota pemandian air panas yang terkenal dengan pemandangan saljunya, pihak berwenang mulai menerapkan pembatasan masuk hanya untuk wisatawan yang menginap di hotel lokal setelah pukul 20.00 waktu setempat.

Wisatawan yang ingin mengunjungi kota ini antara pukul 17.00 hingga 20.00 waktu setempat diwajibkan untuk melakukan reservasi terlebih dahulu.

(upd/fem)

Membagikan
Exit mobile version