Jakarta –
Penyebab sepeda motor masih menjadi primadona adalah lebih efisien dan praktis dalam bertransportasi. Hal ini imbas dari tidak tepatnya pembangunan kota di Indonesia.
“Motor itu salah satu penyebab rendahnya masyarakat untuk mau berpindah ke transportasi massal. Bagaimana pun juga motor sampai dengan sekarang tidak terbantahkan yang paling efisien, paling hebat,” kata Pengamat Tata Kota Universitas Trisakti Nirwono Joga dalam diskusi bersama Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Kamis (23/1/2025).
“Dari rumah langsung ke kantor, langsung ke sekolah. Kalau hitung-hitungan biaya pengeluarannya, pengeluaran saya naik LRT, bela-belain naik bus TransJakarta, ternyata jauh lebih mahal kalau kita untuk mencicil motor. Ini yang sebenarnya jadi tantangan,” jelasnya lagi.
Mengutip website AISI, pada bulan Desember 2024, industri sepeda motor Indonesia menjual sebanyak 403.480 unit motor atau naik dari November 2024 yang mencatatkan angka penjualan 512.942 unit.
Kemudian secara akumulasi, sepanjang Januari-Desember 2024, penjualan motor di Indonesia mencatatkan angka 6.333.310 unit. Angka itu naik dari angka penjualan motor tahun 2023 yang meraih 6.236.992 unit.
Kemacetan merupakan salah satu masalah yang kerap terjadi di kota-kota besar di Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya transportasi umum, sehingga masyarakat memilih menggunakan kendaraan pribadi untuk mobilisasi.
“Data BPS terakhir kajian di lima kota, macet dan biaya transportasinya sudah memotong 30-40 persen pendapatannya, maka penduduk kota tidak bisa produktif,” kata Ketua MTI Tory Damantoro.
Tory juga membeberkan data terakhir dari kebutuhan anggaran logistik Tanah Air yang berkisar di angka Rp 1.400 triliun. Angka ini hanya mampu membawa pertumbuhan ekonomi Indonesia di angka 5%. Sementara pemerintah sendiri menargetkan pertumbuhan ekonomi terdongkrak ke angka 8%.
“Untuk mencapai Indonesia emas kita butuh 8%. Kalau kemudian kita menggenjot pertumbuhan 8% dengan kondisi logistik seperti ini, itu akan berkali-kali lipat. Karena sistemnya tidak berubah, tata kelola tidak berubah, paradigma tidak berubah,” terangnya.
“Sejak dua tahun lalu MTI meminta pemerintah untuk mengubah paradigma angkutan logistik. Dari yang sifatnya sektoral, diubah menjadi supply chain. Harusnya antara struktur ruang dan struktur pergerakan itu sinergi. Sistem perkotaan di Indonesia itu hubungannya satu sama lain mau seperti apa? Apakah mau kereta, kapal, atau jalan tol, itu harus ditata. Sehingga kita menggunakan mode angkutan dengan karakteristik yang paling efisien untuk melayani itu,” tandas Tory.
Nirwono menyoroti langkah pemerintah supaya masyarakat mau berpindah ke transportasi umum. Maka perlu kawasan yang mempermudah transit masyarakat dengan tersedianya transportasi umum seperti stasiun kereta api, terminal bus, hingga bandara, ada pula jalur khusus untuk pejalan kaki. Di satu sisi, penggunaan kendaraan bermotor seperti motor dan mobil akan jauh berkurang karena keberadaan transportasi umum dan area pejalan kaki yang sama nyamannya.
“Kenapa dalam perkembangan kota di seluruh dunia, transportasi adalah tulang punggung perkembangan kota. Justru perkembangan kota itu ada di transportasi, itu tidak terjadi di setiap kota di Indonesia. Itulah pengembangan kota tidak tertata, transportasi kemudian baru masuk, seperti Jakarta dan Semarang misalnya,” kata dia.
“Idealnya yang muncul pertama kali adalah jalur transportasi publiknya, jadi arah ke mana. Baru kemudian pemerintah mendorong perkembangan komersial ada di sini, pemukiman di sini, perkantoran di sini,” jelasnya lagi.
“Satu adalah warga menggunakan waktu beraktivitas, minimal sudah mencapai 80 persen sudah menggunakan transportasi umum, 60 persen sudah lumayan,” sambung dia.
(riar/lth)