Minggu, Oktober 20


Semarang

Tahukah kamu jika Semarang ternyata punya Monumen Ketenangan Jiwa. Simak sejarah di balik keberadaan monumen ini:

Kota Semarang memiliki banyak peninggalan sejarah yang berkaitan dengan Pertempuran 5 Hari di Semarang. Salah satunya Monumen Ketenangan Jiwa yang berada di Kelurahan Bandarharjo, Semarang Utara.

Monumen ini menjadi catatan tersendiri terjadinya pertempuran selama lima hari di Semarang pada 14 Oktober 1945. Hanya saja, belum banyak yang tahu jika Monumen Ketenangan Jiwa, sebagai salah satu peninggalan momen tersebut.


Tempat Arwah Tentara Jepang

Sejarah soal pertempuran lima hari ini itu terpatri di bongkahan baru besar di tepi kota dekat Pantai Baruna. Monumen Ketenangan Jiwa atau Chinkom no Hi ini diyakini menjadi tempat para arwah penjajah Jepang.

“Monumen ini didirikan untuk memperingati arwah para korban peristiwa pertempuran lima hari pada tanggal 14 Oktober 1945 di Semarang dan tempat sekitarnya,” tulis salah satu penggagas monumen, Aoki Masafumi saat ditemui di Kelurahan Bandarharjo, Senin (14/10).

Dalam monumen itu Aoki menceritakan kisah pilu warga sipil Jepang yang tak bisa lolos dari pertempuran 5 hari dan harus mendekam di Penjara Bulu Semarang. Tertulis, ada sekitar 150 orang Jepang yang tewas di dalam penjara dan tak bisa kembali ke kampung halaman.

“Pada akhirnya hanya kematian yang harus ditempuh di Penjara Bulu. Lebih dari 150 jiwa menjadi korban. Di dalam kamar penjara terdapat kata-kata tertulis di tembok dengan goresan darah yang mengalir dari raga mereka ‘Hidup Kemerdekaan Indonesia’,” tulis Aoki.

Monumen Ketenangan Jiwa di Semarang Foto: Arina Zulfa Ul Haq/detikJateng

Dalam monumen yang diresmikan sejak 14 Oktober 1998 oleh Wali Kota Madya Semarang, Soetrisno Soeharto itu, Aoki mengungkapkan belasungkawa yang terdalam bagi para korban pertempuran. Ia berdoa agar peristiwa itu tak terulang kembali.

“Semoga pengorbanan yang mulia dapat menjadikan landasan bagi perdamaian di seluruh dunia dan peristiwa menaaskan ini tidak terulang kembali,” harapnya.

“Saya mendoakan dengan tulus hati rantai persahabatan jepang dan indonesia agar lebih dipersatukan lagi. Akhir kata saya memohon agar arwah para pahlawan yang mulia berbaringlah dengan tenang di sini. Dengan mengatupkan tangan, 14 Oktober 1998, Masafumi Aoki,” lanjutnya.

Sering Dikunjungi Turis Jepang

Sementara itu, salah satu warga setempat yang dipercaya sebagai penjaga Monumen Ketenangan Jiwa, Edi Wiyanto (74), menuturkan peninggalan sejarah tersebut sering dikunjungi wisatawan Jepang untuk memperingati Pertempuran 5 Hari di Semarang.

“Mulai Agustus pasti yang punya ahli waris datang ke sini. Sebelum COVID-19, di sini selalu diadakan upacara. Karena yang diserahkan Pemkot untuk memegang Ketenangan Jiwa itu saya, saya bersihkan rumput-rumputnya yang tinggi,” kata Edi saat ditemui detikJateng di rumahnya yang terletak persis di samping monumen.

Monumen itu, kata Edi, dibuat menghadap ke Tokyo dan dibuat dengan batu dari Jepang asli. Ukirannya hingga kini masih terbaca, meski sudah sedikit luntur.

Pria kelahiran 1950 yang telah menjadi penjaga monumen sejak 1998 itu mengatakan, tak hanya warga sipil Jepang yang datang berkunjung. Bahkan masyarakat dari luar kota yang tengah memiliki hajat kerap kali berkunjung, berdoa agar permintaannya bisa dikabulkan.

“Ada yang punya hajat misal mau nyalon lurah, ke sini. Ada yang satu bulan, 15 hari, nginepnya di sini. Ada yang sendiri, ada yang rombongan,” tuturnya.

Nahasnya, peninggalan sejarah itu kini mulai ditinggalkan. Hanya tinggal Edi yang merawatnya tanpa mendapat bayaran. Akses jalan yang sulit dan berlumpur akibat sering terendam banjir rob, membuat tak banyak wisatawan tertarik mengunjungi monumen tersebut.

“Memang yang jadi perhatian, jalan itu. Ini kan aset, sejarah, tapi jalannya seperti itu. Padalah jalan di kota dibangun, tapi akses menuju sejarah malah seperti ini,” kata Edi.

“Biasanya tanggal 14 yang ke sini itu dari Penjara Bulu, orang Jepang, tapi ini kok nggak ada. Mungkin karena situasi banjir rob atau yang lain. Tapi sejarahnya sudah semakin ditinggalkan,” lanjutnya.

Edi mengungkapkan, banjir rob yang cukup tinggi sudah menggenangi akses jalan menuju monumen beberapa waktu terakhir. Biasanya, luapan air laut itu akan menggenangi akses jalan sekitar pukul 03.00-10.00 WIB.

Usai rob, jalanan akan terasa becek dan sulit dilewati motor. Motor bisa ditinggal di daerah sebelum lokasi tambak di sekitar Pantai Baruna. Jauhnya sekitar 1 kilometer dari monumen.

Edi pun berharap, pemerintah dapat memberikan perhatian lebih dengan ikut menjaga dan mengembangkan saksi sejarah pertempuran 5 hari di Semarang itu.

——-

Artikel ini telah naik di detikJateng.

(wsw/wsw)

Membagikan
Exit mobile version