Minggu, Januari 5


Jakarta

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan yang diajukan oleh Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) mengenai pembentukan panitia seleksi (pansel) calon pimpinan KPK dan dewan pengawas (dewas). MK menilai dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

“Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan 160/PUU-XXII/2024, di gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025).

Dalam pertimbangannya, MK menilai akan terjadi kekosongan jabatan KPK dan Dewas, jika proses seleksi tersebut dikaitkan dengan waktu pelantikan Presiden dan DPR. MK menyatakan pelantikan pimpinan KPK dan Dewas pun tidak akan bisa dilaksanakan tepat 20 Desember 2024.


“Jika proses seleksi yang di dalamnya terdapat proses pengajuan calon Pimpinan KPK dan calon Dewan Pengawas KPK dilakukan oleh DPR dan Presiden dalam periode yang sama dengan Pimpinan KPK dan Dewan Pengawas KPK, maka proses seleksi baru akan dimulai setelah tanggal 20 Oktober 2024,” kata Wakil Ketua MK Saldi Isra.

“Dengan sekuens waktu sebagaimana diuraikan di atas, dalam batas penalaran yang wajar, panitia seleksi tidak akan menghasilkan Pimpinan KPK dan Dewan Pengawas KPK yang bisa dilantik pada sekitar pertengahan Desember 2024. Jika logika Pemohon tersebut diikuti, dapat dipastikan akan terjadi kekosongan Pimpinan KPK dan Dewan Pengawas KPK dalam beberapa waktu,” sambungnya.

Saldi menyampaikan, jika permohonan Boyamin dikabulkan, itu akan menimbulkan pemaknaan yang sempit terhadap penerapan Pasal 30 ayat 1 dan 2 UU KPK. Menurut dia, aturan itu menjadi sulit dan bahkan tidak dapat diterapkan secara adaptif.

“Oleh karena itu, menurut Mahkamah, norma Pasal 30 ayat (1) dan (2) UU KPK adalah telah cukup jelas sehingga tidak perlu diberikan pemaknaan lain berkenaan dengan Presiden atau pemerintah yang mana yang berhak menerapkan norma a quo,” ujarnya.

“Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah telah ternyata kata ‘Presiden’ dalam Pasal 30 ayat (1) dan kata ‘pemerintah’ dalam Pasal 30 ayat (2) UU KPK adalah tidak bertentangan dengan prinsip negara hukum dan tidak bertentangan dengan hak atas kepastian hukum yang adil sebagaimana dinyatakan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, bukan sebagaimana yang didalilkan Pemohon,” imbuhnya.

Sebelumnya, Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) mengajukan permohonan judicial review terkait panitia seleksi (pansel) calon pimpinan dan Dewan Pengawas (Dewas) KPK ke Mahkamah Konstitusi (MK). MAKI menilai pembentukan pansel capim dan cadewas KPK merupakan wewenang Presiden Prabowo Subianto.

Pengajuan judicial review itu dilayangkan Koordinator MAKI Boyamin Saiman ke MK, Selasa (5/11/2024). Boyamin mengatakan pembentukan pansel capim dan cadewas KPK menjadi kewenangan Presiden periode 2024-2029, yaitu Prabowo Subianto. Dasarnya adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022.

“Sebagaimana surat tanda terima, hari ini saya Boyamin telah mendaftarkan permohonan uji materi atau gugatan judicial review untuk memaknai Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, di mana di sana mengatur presiden menyerahkan hasil pansel kepada DPR,” kata Boyamin.

“Nah, ini saya memaknai siapa presiden gitu. Nah kalau versi saya, presidennya adalah Presiden Prabowo dan ketika Pak Jokowi membentuk pansel dan menyerahkan kepada DPR, itu tidak sah atau tidak berwenang lagi, karena apa berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112 yang dimohonkan Pak Nurul Ghufron itu kan presiden hanya memilih sekali,” sambungnya.

(amw/dnu)

Membagikan
Exit mobile version