Senin, Februari 3

Jakarta

Ramai skandal transfusi darah memicu puluhan ribu warga di Inggris tertular HIV hingga hepatitis. Laporan tersebut dirilis dalam proses investigasi Senin (21//5/2024), diduga imbas transfusi darah dan produk yang tercemar di tahun 1970 sampai 1980.

Skandal ini secara luas dianggap sebagai skandal paling mematikan yang menimpa Layanan Kesehatan Nasional Inggris (National Health Service) sejak didirikan pada 1948. Sekitar 3.000 orang diyakini telah meninggal akibat terinfeksi HIV dan hepatitis.

Laporan tersebut mengkritik praktisi medis, pegawai negeri dan politisi, meskipun banyak yang telah meninggal seiring berjalannya waktu. Jika bukan karena para aktivis yang tak kenal lelah, dan banyak di antara mereka menyaksikan orang-orang tercinta meninggal dalam waktu beberapa dekade terlalu cepat, besarnya skandal ini mungkin akan tetap tersembunyi.


“Skandal ini telah menyelimuti seluruh hidup saya,” kata Jason Evans, yang berusia 4 tahun ketika ayahnya meninggal pada usia 31 tahun pada tahun 1993 setelah tertular HIV dan hepatitis dari produk plasma darah yang terinfeksi.

“Ayah saya tahu dia sedang sekarat dan dia mengambil banyak video rumahan, yang saya dapatkan dan putar ulang berulang kali saat saya tumbuh dewasa karena hanya itulah yang saya miliki,” tambahnya, dikutip dari APNews.

Evans berperan penting dalam keputusan Perdana Menteri Theresa May untuk melakukan penyelidikan pada 2017. Dia mengatakan tidak bisa membiarkannya begitu saja. Harapannya adalah pada hari Senin, dia dan banyak orang lain bisa mendapatkan keadilan.

Awal Mula Skandal Terungkap

Pada tahun 1970-an dan 1980-an, ribuan orang yang memerlukan transfusi darah, misalnya setelah melahirkan atau menjalani operasi, terpapar darah yang tercemar hepatitis, termasuk jenis infeksi hati yang saat itu belum diketahui, kini kemudian dinamai hepatitis C, dan HIV.
Mereka yang mengidap hemofilia, suatu kondisi yang mempengaruhi kemampuan darah untuk membeku, menjadi terpapar pada apa yang dijual sebagai pengobatan baru revolusioner yang berasal dari plasma darah.

Di Inggris, sebagian besar orang mulai menggunakan pengobatan baru ini pada awal 1970an. Itu disebut Faktor VIII. Obat ini lebih nyaman jika dibandingkan dengan pengobatan alternatif dan dijuluki sebagai obat ajaib.

Permintaan segera melampaui sumber pasokan dalam negeri, sehingga pejabat kesehatan mulai mengimpor Faktor VIII dari Amerika Serikat, saat sebagian besar sumbangan plasma berasal dari narapidana dan pengguna narkoba yang dibayar untuk mendonorkan darahnya. Hal ini secara dramatis meningkatkan risiko kontaminasi plasma.

Faktor VIII dibuat dengan mencampurkan plasma dari ribuan donasi. Dalam pengumpulan ini, satu donor yang terinfeksi akan membahayakan seluruh kelompok.

Penyelidikan tersebut memperkirakan bahwa lebih dari 30.000 orang terinfeksi dari darah atau produk darah yang dikompromikan melalui transfusi atau Faktor VIII.

Pada pertengahan tahun 70an, terdapat bukti bahwa pengidap hemofilia yang diobati dengan Faktor VIII lebih rentan terhadap hepatitis. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang telah memperingatkan pada tahun 1953 tentang risiko hepatitis terkait dengan pengumpulan produk plasma secara massal, mendesak negara-negara untuk tidak ikut mengimpor plasma.

AIDS pertama kali diketahui pada awal 1980an di kalangan laki-laki gay tetapi kemudian muncul di kalangan pengidap hemofilia dan mereka yang menerima transfusi darah.

Meskipun HIV belum teridentifikasi sebagai penyebab AIDS sampai tahun 1983, peringatan telah disampaikan kepada pemerintah Inggris setahun sebelumnya bahwa penyebabnya dapat ditularkan melalui produk darah. Pemerintah berpendapat tidak ada bukti yang meyakinkan. Pasien tidak diberitahu tentang risikonya dan terus menggunakan pengobatan yang membahayakan mereka.

Kenapa Baru Terungkap?

Simak Video “30 Ribu Warga Inggris Terinfeksi HIV-Hepatitis Imbas Transfusi Darah
[Gambas:Video 20detik]

Membagikan
Exit mobile version