Minggu, Januari 5


Jakarta

Peningkatan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas merupakan salah satu fokus dalam pengembangan pariwisata berkelanjutan di Indonesia. Namun, tantangan utama yang dihadapi adalah minimnya fasilitas ramah disabilitas di berbagai destinasi wisata.

Kondisi itu mendorong perlunya data statistik yang akurat dan pemahaman mendalam mengenai kebutuhan disabilitas sebagai dasar kebijakan dan implementasi di lapangan.

Direktur Statistik Kesejahteraan Rakyat BPS, Ahmad Avenzora, menjelaskan bahwa survei terkait disabilitas mengacu pada pendekatan Washington Group, pendekatan ini mengukur tingkat kesulitan individu dalam menjalani aktivitas sehari-hari.


“Di Susenas itu memang ditanyakan tentang disabilitas. Jangan lupa bahwa di Susenas itu pendekatannya adalah Washington Group, bukan dari Undang-Undang nomor 8 tahun 2016, dimana di situ disabilitas-disabilitas kan ada yang disabilitas lima jenis kalau tidak salah, lima atau berapa jenis,” kata Ahmad saat diwawancarai tim detikTravel, Senin (9/12/2024).

Fokus utama dari kategori disabilitas ini adalah pada individu yang memiliki kesulitan berat atau sama sekali tidak bisa menjalankan aktivitas tertentu. Berdasarkan data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), kelompok usia lansia (60 tahun ke atas) memiliki prevalensi penyandang disabilitas tertinggi.

Sebaliknya, prevalensi terendah ditemukan pada kelompok anak-anak berusia 5-15 tahun. Penelitian Qiao (2022) juga menemukan bahwa kerentanan fisik pada lansia berkontribusi signifikan terhadap tingginya prevalensi disabilitas di kelompok ini.

Menariknya, data menunjukkan bahwa pada kelompok usia produktif (16-30 tahun dan 31-59 tahun), prevalensi disabilitas lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan perempuan. Namun, situasi berbeda terjadi pada kelompok lansia, di mana prevalensi perempuan lebih tinggi. Hal ini berkorelasi dengan persentase perempuan lansia yang lebih banyak dibandingkan laki-laki lansia, yaitu sebesar 51,81 persen berbanding 48,19 persen.

Data disabilitas dari Susenas telah tersedia sejak 2017-2018. Namun, Ahmad menyebutkan bahwa survei ini tidak menghasilkan angka prevalensi atau jumlah total penyandang disabilitas secara langsung.

“Dari Susenas pun, meskipun pertanyaan disabilitas itu ditanyakan dari sejak tahun 2017-2018, tetapi memang tidak mengeluarkan prevalensi, tidak mengeluarkan jumlah. Nah RSE-nya itu masih lumayan tinggi lah ya, untuk disabilitas,” kata Ahmad.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa sampel dalam sensus penduduk jauh lebih besar dibandingkan Susenas. Dengan jumlah sampel mencapai 4,3 juta rumah tangga, data sensus memungkinkan untuk memberikan gambaran lebih rinci.

“Apalagi yang mau di-breakdown sampai level provinsi, apalagi kabupaten. Nah dari long form, sensus penduduk itu jumlah sampelnya itu 4,3. Dengan 4,3 juta itu, sehingga dimungkinkan, kalau susenas kan hanya 345 ribu rumah tangga,” ujar Ahmad.

Namun, Ahmad menyoroti tantangan dalam mengumpulkan data disabilitas di tingkat provinsi hingga kabupaten. Kekurangan itu menyebabkan keterbatasan dalam penyusunan kebijakan berbasis data untuk wilayah-wilayah tertentu.

Padahal, aksesibilitas bagi penyandang disabilitas perlu dirancang sesuai dengan kebutuhan lokal. Dengan adanya data penyandang disabilitas, pemerintah diharapkan mampu merancang fasilitas wisata yang lebih inklusif.

Fasilitas seperti jalur kursi roda, toilet aksesibel, dan pelatihan pemandu wisata yang memahami kebutuhan disabilitas menjadi prioritas untuk menciptakan pengalaman wisata yang ramah bagi semua kalangan. Pengembangan destinasi wisata ramah disabilitas tidak hanya meningkatkan daya saing Indonesia sebagai destinasi pariwisata global, tetapi juga mencerminkan komitmen negara terhadap kesetaraan sosial.

(fem/fem)

Membagikan
Exit mobile version