Rabu, Maret 12
Jakarta

Untuk dapat menyaksikan keberagaman itu dalam satu tempat, Taman Mini Indonesia Indah (TMII) menjadi destinasi yang tepat. Seperti potongan kecil dari Nusantara yang luas, TMII menghadirkan pengalaman unik bagi siapa pun yang ingin lebih mengenal budaya Indonesia tanpa harus bepergian jauh ke berbagai provinsi.

Salah satu anjungan yang menarik perhatian saya dan teman-teman adalah Anjungan Sumatra Selatan. Pada 5 Februari 2024, saya dan 13 teman kuliah lainnya melakukan perjalanan ke TMII sebagai bagian dari tugas mata kuliah Praktik Festival Budaya Nusantara di semester dua lalu.

Masuk TMII dengan shuttle


Dengan penuh semangat, kami bersiap untuk mengeksplorasi budaya khas Sumatra Selatan yang kaya akan sejarah dan tradisi. Begitu memasuki TMII, kami langsung menaiki mobil shuttle yang disediakan untuk berkeliling.

Dari atas shuttle, kami melihat anjungan-anjungan dari berbagai daerah di Indonesia, masing-masing menampilkan rumah adat khas yang merepresentasikan kekayaan budaya nusantara.

Menyaksikan rumah-rumah adat dari Sabang hingga Merauke dalam satu kawasan membuat kami merasa seperti sedang menjelajahi seluruh Indonesia dalam waktu singkat.

Keunikan bentuk dan ornamen dari tiap anjungan membuat perjalanan ini semakin menarik dan membuka wawasan kami tentang keberagaman budaya Indonesia. Setelah puas berkeliling, kami akhirnya sampai di anjungan Sumatra Selatan, destinasi utama kami hari itu.

Dari luar, Rumah Limas, rumah adat khas Sumatra Selatan, berdiri megah dengan arsitektur yang mencerminkan kejayaan budaya Palembang. Tak jauh dari rumah adat ini, terdapat replika Jembatan Ampera, ikon kebanggaan Sumatra Selatan.

Rumah Limas

Rumah Limas sendiri memiliki makna filosofis yang dalam. Bangunan ini terdiri dari beberapa tingkat yang disebut “kijing” dan masing-masing melambangkan tingkatan sosial dalam masyarakat.

Semakin tinggi tingkatnya, semakin tinggi pula kedudukan seseorang dalam struktur sosial masyarakat Sumatra Selatan. Hal ini menunjukkan bahwa rumah adat bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga mencerminkan nilai budaya dan kehidupan sosial masyarakat Palembang.

Begitu memasuki rumah limas, kami langsung disambut oleh interior yang kaya akan ornamen khas Sumatra Selatan. Ruangan-ruangannya dihiasi ukiran kayu yang detail dan berwarna emas, mencerminkan kemewahan budaya Palembang.

Setiap sudutnya memiliki nilai filosofis tersendiri, menggambarkan struktur sosial masyarakat Sumatra Selatan. Kami juga menemukan berbagai koleksi pakaian adat, salah satunya Aesan Gede, busana pengantin khas Palembang yang didominasi warna emas.

Pakaian ini mencerminkan kejayaan Kerajaan Sriwijaya yang dahulu menjadi pusat perdagangan dan kebudayaan maritim di Asia Tenggara. Aesan Gede tidak hanya sekadar pakaian pengantin, tetapi juga simbol kemewahan dan kebangsawanan yang diwarisi dari generasi ke generasi.

Alat musik dan kuliner Palembang

Selain itu, terdapat berbagai perlengkapan rumah tangga tradisional, alat musik daerah seperti gendang Melayu dan kenong, serta benda-benda bersejarah lainnya yang semakin memperkaya wawasan kami tentang budaya Sumatra Selatan.

Tak hanya rumah adat dan koleksi budaya, Anjungan Sumatra Selatan juga memiliki tempat makan yang menyajikan pempek, makanan khas Palembang yang terkenal di seluruh Indonesia.

Kami tentu tak ingin melewatkan kesempatan ini dan segera mencicipinya. Sensasi kenyalnya pempek berpadu dengan cuko yang asam pedas menciptakan cita rasa yang tak terlupakan.

Sambil menikmati pempek, kami berbincang tentang pengalaman yang sudah kami lalui sepanjang hari itu. Rasanya seperti mendapatkan perjalanan budaya yang lengkap, dari melihat rumah adat hingga mencicipi makanan khas daerahnya.

Tidak hanya pempek, kami juga melihat hidangan khas lainnya seperti model, tekwan, dan semacamnya, yang semuanya berbahan dasar ikan dan memiliki cita rasa unik.

Kunjungan ke Anjungan Sumatra Selatan di TMII bukan hanya sekadar perjalanan wisata bagi kami. Lebih dari itu, ini adalah pengalaman mendalam yang membuka mata kami tentang pentingnya melestarikan budaya daerah.

Melihat langsung rumah adat, pakaian tradisional, serta mencicipi kuliner khas membuat kami semakin memahami bahwa budaya adalah identitas yang harus dijaga.

Saya juga menyadari bahwa generasi muda memiliki peran besar dalam menjaga dan melestarikan budaya lokal. Kemajuan teknologi dan modernisasi tidak seharusnya menggerus nilai-nilai tradisional, tetapi justru bisa menjadi alat untuk memperkenalkan budaya daerah kepada dunia.

Dengan semakin banyak orang yang mengenal dan mencintai budayanya sendiri, maka warisan leluhur ini akan tetap lestari hingga masa depan.

Saat langkah kami meninggalkan Anjungan Sumatra Selatan, saya tahu bahwa perjalanan ini telah meninggalkan kesan yang mendalam di hati kami.

Bukan sekadar kunjungan biasa, tetapi juga perjalanan yang memperkaya wawasan, mempererat kecintaan kami terhadap budaya Indonesia, dan menyadarkan kami betapa berharganya warisan budaya yang harus terus dijaga agar tak lekang oleh waktu.

Perjalanan ini bukan sekadar eksplorasi, tetapi juga pengingat bahwa budaya adalah cerminan dari jati diri bangsa. Semoga pengalaman ini menginspirasi lebih banyak orang untuk mengenal dan mencintai keberagaman budaya Indonesia.

Membagikan
Exit mobile version