Senin, Juli 8


Rangkasbitung

Suku Badui viral usai kecaman budayawan yang menilai kaum perempuan dieksploitasi di TikTok dan Instagram. Seperti apa sih kampung Badui yang tersembunyi itu?

Budayawan Banten Uday Suhada mengecam eksploitasi perempuan Badui yang kini marak dilakukan oleh para konten kreator ke media sosial (medsos), baik Instagram maupun TikTok.

“Kita sangat prihatin dan marah atas kelakuan sejumlah pihak konten kreator atau influencer medsos atau apapun namanya, yang makin ke sini semakin mengeksploitasi perempuan muda Badui,” kata Uday dalam keterangan tertulis di Rangkasbitung, Lebak, Selasa (2/7/2024).


Berkunjung ke Kampung Badui

Sebelum menginjakkan kaki di kampung Badui, saya masih menyimpan persepsi bahwa mereka adalah masyarakat yang terasing, terpencil dan terisolasi dari perkembangan dunia luar.

Maka, pada saat pertama kali berjumpa dengan orang-orang Badui, saya agak takut mendekati mereka. Saya khawatir mereka tidak suka berinteraksi, atau ada hal-hal lain yang menjadi pantangan bagi mereka yang tidak saya ketahui.

Di luar dugaan, orang-orang Badui cukup terbuka. Dengan ramah, mereka menjelaskan tradisi mereka, cara hidup mereka, kebiasaan mereka.

Suku Badui adalah warga Kerajaan Padjajaran yang memilih untuk mengasingkan diri demi menjaga kemurnian tradisi. Sejak awal mula, mereka memang dengan sengaja memilih hidup sederhana, menyatu dengan alam dan menjauhkan diri dari pengaruh dunia luar.

Beberapa literasi menyebutkan bahwa orang Badui percaya bahwa mereka adalah keturunan Batara Cikal, dewa yang diutus ke bumi untuk menjaga harmoni. Tak heran bila orang Badui sangat menghargai alam.

Pekerjaan mereka umumnya bercocok tanam. Sesekali mereka juga menjual hasil bumi, madu, gula kawung serta hasil tenunan mereka pada masyarakat di luar Badui.

Karena memiliki prinsip hidup tidak ingin merusak keseimbangan alam, orang-orang Badui memiliki cara tersendiri untuk mengusir hama wereng yang mengganggu tanaman. Mereka membuat alat musik unik yang terbuat dari bambu atau pelepah kawung, bernama karinding.

Suara yang dihasilkan oleh alat musik yang ukurannya hanya sejengkal itu membuat saya merinding. Meski terlihat sederhana, namun nada yang dihasilkannya terdengar indah dan meriah.

Kampung Badui sendiri letaknya tersembunyi, jauh dari pusat kota Rangkasbitung. Saya tidak menjumpai jalan mulus beraspal dan kendaraan bermotor yang lalu lalang di sana. Kontur jalan yang saya lalui hanya berupa jalan tanah yang sesekali berbatu yang tak selalu datar, lebih sering menanjak dan menurun dengan tajam.

Namun demikian, orang-orang Badui melewatinya setiap hari dengan berjalan kaki, bahkan tanpa menggunakan alas kaki dan sama sekali tidak mengandalkan alat transportasi. Kampung Badui Luar masih relatif mudah dijangkau, namun tidak demikian halnya dengan kampung Badui Dalam yang lebih jauh di pedalaman.

Dari kampung Badui Luar, masih diperlukan sekitar tiga hingga lima jam perjalanan yang seluruhnya harus ditempuh dengan berjalan kaki menuju kampung Badui Dalam.

Karena beratnya perjalanan yang harus ditempuh, warga Badui Dalam memberi ijin pengunjung dari luar Badui untuk menginap, namun tak boleh lebih dari semalam.

Itu pun dengan syarat tidak boleh mencemari sungai yang dipergunakan untuk mandi dengan sabun, shampoo, atau pasta gigi.

Menginap di kampung Badui yang tanpa aliran listrik sudah pasti memberikan sensasi tersendiri bagi mereka yang terbiasa dengan gemerlapnya kota.

Rumah-rumah di perkampungan Badui bentuknya hampir serupa, dibangun dengan kearifan lokal yang mengandalkan setiap materialnya dari alam.

Isi rumahnya pun nyaris tanpa perabot. Hanya ada tikar untuk alas tidur serta perlengkapan dasar untuk makan. Dapur pun sama sederhananya, dengan tungku berbahan bakar kayu.

Anak-anak Badui tidak sekolah, namun mereka tidak buta huruf. Mereka tetap belajar, meskipun tidak secara formal. Selain menyerap ilmu dari leluhur, mereka juga belajar dari alam sekitar.

Anak-anak perempuan sudah belajar menenun sejak mereka berusia sepuluh tahun. Setelah melihat dengan mata kepala sendiri cara hidup orang Badui, persepsi saya tentang mereka pun berubah.

Kesederhanaan ternyata tak hanya menenangkan, namun bisa menyenangkan juga, apabila dijalani dengan sepenuh kesadaran. Orang-orang Badui membuktikan bahwa hidup bisa saja dijalani dengan cara yang berbeda.

(wsw/wsw)

Membagikan
Exit mobile version