
Jakarta –
Ada banyak tradisi di Bali yang telah dijalankan selama turun-temurun, salah satunya adalah tradisi megibung. Bagi warga Kabupaten Karangasem, Bali, tradisi ini memiliki makna tersendiri.
Tradisi megibung juga dilakukan oleh sejumlah umat muslim di Bali. Tradisi ini khususnya dilaksanakan pada bulan Ramadan, tepatnya saat berbuka puasa.
Lantas, apa makna dari tradisi megibung? Lalu apa ciri khas dari tradisi ini? Simak pembahasannya dalam artikel ini.
Mengenal Tradisi Megibung
Megibung merupakan tradisi unik yang dilakukan dengan cara makan bersama dalam satu tempat atau wadah yang sama. Megibung sendiri berasal dari kata “gibung” yang artinya kegiatan yang dilakukan oleh banyak orang.
Dilansir laman resmi Pemerintah Kabupaten Karangasem, tradisi megibung dikenalkan oleh Raja Karangasem, yaitu I Gusti Agung Anglurah Ketut Karangasem sekitar 1614 Caka atau 1692 Masehi. Saat itu, Karangasem tengah melakukan ekspedisi untuk menaklukkan raja-raja yang ada di tanah Lombok.
Saat beristirahat usai peperangan, raja menganjurkan semua prajuritnya untuk makan bersama dalam posisi melingkar, kegiatan tersebut yang saat ini dikenal dengan nama megibung. Konon, saat itu Raja Karangasem juga ikut makan bersama dengan prajuritnya.
Ciri Khas Tradisi Megibung
Ciri khas dari tradisi megibung dimulai dari memasak makanan khas tradisional Bali dengan cara gotong royong, mulai dari nasi hingga lauk pauk. Lauk yang disajikan pada saat megibung berasal dari daging babi yang diolah menjadi berbagai jenis masakan, seperti balah, sate, lawar, tum, urutan, dan ares.
Saat megibung, makanan akan disajikan dalam dua wadah. Satu wadah untuk tempat nasi yang disebut dengan naren/gibungan, kemudian satu wadahnya lagi digunakan untuk tempat lauk yang disebut dengan istilah karangan.
Dalam karangan, terdapat aneka lauk olahan babi dan selalu identik dengan 11 tusuk sate babi. Jumlah peserta saat megibung terdiri dari delapan orang, mereka akan duduk melingkar mengikuti arah mata angin.
Pada umumnya, tradisi megibung digelar saat upacara adat dan keagamaan di suatu tempat, terutama di daerah Karangasem. Misalnya dalam Upacara Yadnya seperti pernikahan, odalan di pura, ngaben, upacara tiga bulanan, dan berbagai hajatan lainnya.
Sebelum upacara dimulai, biasanya pemilik acara membagikan undangan kepada kerabat serta saudara untuk menyaksikan proses kegiatan upacara keagamaan tersebut. Tujuannya agar prosesi upacara dapat berlangsung seperti yang diharapkan.
Ada sejumlah etika yang harus diperhatikan saat acara megibung, meski aturan ini tidak tertulis tetapi masih ditaati oleh peserta makan. Etika tersebut di antaranya:
- Wajib cuci tangan sebelum makan
- Tidak menjatuhkan remah atau sisa makanan dari suapan
- Tidak mengambil porsi makanan milik orang lain
- Jika seseorang sudah kenyang, dilarang meninggalkan tempat.
Tradisi Megibung saat Ramadan
Tradisi megibung juga dilaksanakan oleh sejumlah umat muslim di Bali. Salah satu contohnya pada acara Festival Ramadhan Masjid Baitul Makmur di Monang Maning, Denpasar Barat.
Panitia Festival Ramadhan Baitul Makmur, Yus Subianto, mengatakan tradisi megibung diadakan sebanyak tiga kali pada Ramadan 2025 dengan menu yang berbeda-beda. Menu pada megibung pertama ini adalah nasi kebuli sapi.
“Intinya kami ingin menyajikan menu yang bervariasi, jadi biar ada menu yang sifatnya berkualitas enak dan kemudian bisa dinikmati oleh banyak (orang),” kata Yus mengutip detikBali.
Tradisi megibung merupakan rangkaian acara Festival Ramadhan Masjid Baitul Makmur yang digelar setiap tahunnya. Yus menyebut bahwa tradisi ini sudah berjalan sejak delapan tahun lalu dan diikuti oleh anak-anak hingga orang dewasa.
“Tujuan tradisi ini dari pendahulu sudah ada dari sekian lama di masjid kami,” ujarnya.
Jadi tidak hanya sekadar makan-makan, tradisi ini dilakukan sebagai simbol kekeluargaan dan kebersamaan bagi umat muslim di Bali. Maka dari itu, seluruh jemaah duduk bersama sama rendah sambil menikmati hidangan yang disajikan untuk berbuka puasa.
(ilf/fds)