Minggu, Juni 30


Jakarta

Gunung bertopi awan memang sedap dipandang dari kejauhan. Mari mengenal fenomena unik yang punya fakta mencengangkan itu.

Secara umum, gunung bertopi merupakan istilah untuk menggambarkan sebuah fenomena alam yang menunjukkan adanya gumpalan awan yang menyelimuti bagian atas suatu gunung. Awan tersebut membentuk pola yang cenderung pipih dan melebar, sehingga terlihat seperti layaknya topi yang dipakai di atas gunung.

Merujuk dari laman Cloud Appreciation Society, awan bertopi merupakan istilah yang menggambarkan fenomena langit saat awan menggumpal dan terlihat seperti topi besar. Keberadaan awan ini bertengger di atas kepala suatu gunung tertentu.


Gunung Semeru bertopi awan (Foto: Nur Hadi Wicaksono/detikcom)

Apa itu gunung bertopi?

Sementara itu, terdapat istilah ilmiah untuk menggambarkan fenomena gunung bertopi atau awan topi tersebut. Menurut buku ‘Pemanasan Global dan Perubahan Iklim’ oleh Bayu Sapta Hari, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memberikan penjelasan mengenai terbentuknya topi awan yang biasanya melingkari sejumlah puncak gunung.

Disampaikan bahwa topi awan tersebut memiliki julukan secara ilmiah yang disebut sebagai awan lenticular atau lentikular. Kemudian awan lentikular memiliki karakteristik tersendiri yang mampu membedakannya dengan jenis awan yang lain

Adapun karakteristik awan lentikular adalah posisinya yang cenderung tidak bergerak seperti awan lainnya. Kemudian awan lentikular juga dikenal memiliki bentuk yang padat.

Meski kerap disebut sebagai awan topi, awan lentikular juga mendapatkan julukan sebagai awan piring terbang. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan dalam Cambridge Dictionary bahwa awan lentikular memiliki penampilan yang tergolong aneh dibandingkan dengan awan pada umumnya.

Bahkan awan lentikular kerap disalahartikan sebagai piring terbang karena bentuknya yang pipih dan sedikit melengkung pada kedua sisinya.

Saat Gunung Lawu Bertopi SusunGunung Lawu bertopi susun (Foto: Istimewa)

Proses terjadinya gunung bertopi

Lantas bagaimana proses terjadinya fenomena gunung bertopi yang telah diketahui merupakan awan lentikural? Masih dikutip dari buku yang sama, awan lentikular dapat terbentuk akibat udara bergerak menuju ke atas melewati gunung.

Kemudian udara tersebut akan mendapatkan pendinginan dalam jumlah yang cukup, sehingga dapat terjadi proses kondensasi. Hal inilah yang memicu terjadinya awan lentikural yang biasanya muncul di sejumlah puncak gunung.

Lebih lanjut disampaikan dalam buku ‘Belajar Sains: Cuaca’ karya Wu Meizhen, awan lentikular dikenal sebagai salah satu jenis awan yang cenderung sangat jarang terlihat. Wujudnya yang pipih dan melengkung terkadang membuat tidak sedikit orang menjulukinya sebagai awan piring terbang.

Proses terjadinya awan lentikular dimulai saat uap air yang ada di sekitar gunung mengalami suhu yang bertambah panas dari waktu ke waktu. Lalu uap air tersebut akan naik ke atas menuju puncak gunung. Saat sudah sampai di puncak, uap air akan berubah menjadi butiran-butiran air yang kecil dan menyatu dengan hawa dingin yang dihasilkan oleh puncak gunung.

Selanjutnya, apabila terbentuk angin yang bertiup secara mendatar, maka gaya yang dihasilkan berupa butiran air kecil akan membentuk awan lentikular yang mengelilingi puncak gunung. Kondisi inilah yang membuat awan lentikural cenderung berwujud mendatar dan melebar di sekitar puncak gunung.

Penampakan awan bertopi di Gunung Sumbing, Temanggung, Kamis (5/11/2020) (Foto: dok. Dara Adinda)

Bahaya gunung bertopi awan

Meskipun dianggap sebagai pemandangan yang indah, ternyata fenomena gunung bertopi yang disebabkan oleh awan lentikular cukup memberikan bahaya bagi bidang tertentu. Salah satunya dalam penerbangan pesawat.

Merujuk dari laman Mount Washington Observatory, disampaikan bahwa awan lentikular terbentuk saat udara bergejolak. Kemudian pola yang dibentuk oleh awan lentikular di sekeliling puncak gunung adalah berupa pusaran aliran udara.

Inilah yang menyebabkan awan lentikular dapat menjadi sumber turbulensi dan kecepatan angin. Alasannya karena udara pada awan lentikular cenderung didorong menuju ke atas melewati gunung.

Sementara itu, awan lentikular dianggap berbahaya terutama bagi penerbangan. Awan tersebut menjadi salah satu indikasi turbulensi udara yang bisa memicu penerbangan menjadi bergelombang.

Hal tersebut senada dengan apa yang disampaikan dengan laman Bold Method, bahwa awan lentikular terbentuk secara memanjang dan melawan arah angin. Hal inilah yang memicu gelombang terperangkap. Bahkan kemunculan awal lentikular ini mampu menunjukkan indikasi adanya gelombang.

Kemudian angin yang naik dan turun membuat performa penerbangan pesawat kemungkinan dapat terpengaruh. Situasi ini membuat terdapat anjuran untuk menjauh dari pegunungan yang menunjukkan fenomena awan lentikular.

Baca artikel selengkapnya di detikJateng

(msl/msl)

Membagikan
Exit mobile version