Rabu, September 18

Jakarta

Tahun lalu, pada September 2023, tanah longsor mengakibatkan dinding air setinggi 200 meter mengalir deras menuruni fjord di Greenland. Tidak ada korban jiwa dari peristiwa ini, namun hampir tidak ada yang menyadari bahwa longsoran tersebut menyebabkan megatsunami yang mengguncang seluruh Bumi lebih dari sepekan.

Ahli seismologi di seluruh dunia dibuat bingung oleh sinyal yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Stasiun penelitian di muara Fjord Dickson, meskipun ditinggalkan selama musim dingin, memiliki perangkat perekam otomatis yang telah mengungkapkan banyak informasi. Dari sinilah mereka mengetahui sinyal aneh tersebut.

Sebuah makalah baru-baru ini mengungkap gelombang tersebut bertahan hingga sepekan, namun tidak menyebutkan fakta bahwa gelombang itu membuat seluruh planet bergetar hingga tingkat yang dapat dideteksi selama sembilan hari.


Perhatian publik biasanya baru akan tertarik jika tsunami yang terjadi tampak nyata di sebuah tempat yang banyak penghuninya. Namun megatsunami yang terjadi tahun lalu terbatas pada wilayah tak berpenghuni di Greenland.

Untuk pertama kalinya, banyak orang di luar daerah itu mendengar tentang peristiwa tersebut pada Agustus 2024, hampir setahun setelah kejadian itu. Fenomena itu menjadi diketahui publik ketika sebuah makalah mengungkap keberadaan gelombang yang memantul bolak-balik melintasi fjord selama sepekan. Gelombang ini tegak lurus dengan arah tsunami awal, yang mengalir di sepanjang fjord.

Citra satelit daerah asal longsoran batu, termasuk debu yang beterbangan akibat kejadian tersebut, diambil 30 menit sebelum dan 7 menit sesudahnya. Foto: Planet Lab

Fjord atau teluk ngarai merupakan semacam teluk yang berasal dari lelehan gletser, yaitu tumpukan es yang sangat tebal dan berat. Meskipun gelombang stasioner terbatas pada fjord, Bumi adalah satu sistem yang terhubung, dan energi yang menghantam dinding menyebabkan kerak Bumi berguncang begitu keras sehingga terekam oleh seismometer di benua lain.

“Ketika kami memulai petualangan ilmiah ini, semua orang bingung dan tidak seorang pun memiliki ide tentang apa yang menyebabkan sinyal ini,” kata Dr. Kristian Svennevig dari Geological Survey of Denmark and Greenland dalam sebuah pernyataan, dikutip dari IFL Science.

“Yang kami tahu hanyalah bahwa sinyal ini entah bagaimana terkait dengan tanah longsor. Kami berhasil memecahkan teka-teki ini melalui upaya interdisipliner dan internasional yang besar,” sambungnya.

Rekaman Sinyal

Film tentang bencana gempa Bumi biasanya menampilkan ayunan seismometer yang liar saat gempa besar terjadi, diikuti oleh penurunan tanah, dan terkadang gempa susulan di waktu yang tidak dapat diprediksi kemudian.

Sinyal yang terekam pada September 2023 tampak sangat berbeda, dengan puncak setiap 92 detik, berulang selama berhari-hari dengan sedikit kehilangan kekuatan.

Awalnya, para ahli seismologi di seluruh dunia tidak tahu apa yang menjadi penyebabnya, tetapi mereka segera menyadari bahwa waktu kejadiannya sangat dekat dengan laporan tanah longsor di Greenland. Dari sana, mereka mulai mencari tahu hubungannya dengan menggunakan citra satelit. Mereka meneliti apa yang telah berubah di lokasi tersebut dan akhirnya mengunjunginya.

Konsekuensi seismik dari gelombang berdiri seperti ini, yang juga dikenal sebagai seiche, telah terlihat sebelumnya, tetapi berlangsung kurang dari satu jam dan hanya terdeteksi dalam jarak 30 kilometer dari kejadian tersebut.

Jelas bahwa ini terjadi pada skala yang berbeda karena kekencangan fjord menciptakan peluang yang belum pernah terjadi sebelumnya. Menurut Svennevig dan rekan penulisnya, tanah longsor itu kemungkinan besar disebabkan oleh perubahan iklim.

Perubahan suhu yang ekstrem antara musim panas dan musim dingin di Greenland, berarti bahwa longsor umumnya terjadi di musim semi saat es mencair, dan pemanasan global memperburuk kondisi ini.

Foto sebelum dan sesudah yang diambil dengan jarak sebulan menunjukkan perubahan. Foto: Søren Rysgaard / Danish Army

“Perubahan iklim mengubah apa yang biasa terjadi di Bumi, dan dapat memicu kejadian-kejadian yang tidak biasa,” kata Dr. Alice Gabriel dari University of California, San Diego, Amerika Serikat.

Permafrost yang mencair, berkurangnya penopang dari es, dan perubahan pola presipitasi, semuanya dapat berkontribusi pada kejadian seperti ini.

Para penulis menghitung 25 juta meter kubik batu dan es jatuh menuruni lereng 45 derajat setinggi 600-900 meter ke saluran samping fjord. Volumenya hampir dua kali lipat dari bangunan terbesar di dunia, Pabrik Boeing Everett.

Citra satelit mengungkap sedikitnya ada empat longsoran batu sebelumnya dan satu longsoran berikutnya, yang menunjukkan seberapa besar kondisi lebih hangat akibat perubahan iklim mengacaukan lokasi tersebut.

Svennevig, Gabriel, dan lebih dari 60 rekan penulis dari 15 negara memodelkan cara tsunami asli akan berperilaku dalam bentuk fjord yang khas, dan melihat bagaimana tsunami berubah menjadi seiche. Ini adalah fenomena yang dihasilkan ketika kecepatan gelombang dan ukuran tabung yang dilaluinya tepat untuk menciptakan resonansi, seperti not yang ditiup pada alat musik.

Pangkalan penelitian di pulau Ella di muara fjord, yang menyediakan sebagian data untuk memahami peristiwa tersebut – mengalami kerusakan senilai USD 200.000 (setara Rp 3 miliar), dan beberapa situs arkeologi diduga telah hancur.

Meskipun kerusakan tersebut kecil dalam konteks konsekuensi lain dari pemanasan global, para penulis mencatat bahwa kerusakan tersebut bisa saja jauh lebih parah, karena kapal pesiar sering kali memasuki muara fjord.

Tsunami yang keluar dari fjord pada waktu yang salah, bahkan ukurannya sangat kecil karena lintasannya, bisa jadi merupakan gunung es baru yang menenggelamkan kapal-kapal raksasa.

[Gambas:Youtube]

(rns/rns)

Membagikan
Exit mobile version