Jogja –
Di zaman dahulu, Masjid Sela di Kraton Jogja dikhususkan untuk para bangsawan. Namun sekarang, rakyat jelata pun bisa menggunakannya.
Masjid yang berada di Kelurahan Panembahan, Kemantren Kraton ini merupakan salah satu masjid tertua di Jogja. Berstatus ‘kagungan ndalem’, masjid ini dibangun pada era Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat pertama yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono I.
Jika diamati, arsitektur bangunan masjid menyerupai bangunan Tamansari dan Keraton Jogja. Tercermin dari atap dan juga tembok tebal yang masih asli sejak pertama kali dibangun. Bahkan ketebalan tembok masjid mencapai 75 centimeter.
“Masjid Sela aslinya namanya Masjid Watu, kalau di kromo inggil jadi Sela, tapi ada juga sebut Masjid Batu kalau bahasa Indonesia. Dibangun zaman Sri Sultan Hamengku Buwono I dilanjutkan Sri Sultan Hamengku Buwono II. Bersamaan dengan pembangunan Keraton Jogjakarta,” jelas marbot Masjid Selo, Sunarwiyadi ditemui di Masjid Sela Jogja, Senin (18/3) lalu.
Sejarah Masjid Sela, lanjutnya, berada di dalam kompleks Ndalem atau kediaman Pangeran. Tepatnya Pangeran yang kemudian akan bertakhta sebagai raja di Keraton Jogja. Kala itu, Masjid Sela digunakan sebagai tempat ibadah salat para pangeran dan bangsawan.
“Itulah mengapa masjid ini istilahnya panepen atau masjid khusus karena memang untuk keluarga bangsawan. Kalau jemaah umum ada sendiri di utara masjid, sekitar 200 meter,” katanya.
Seiring berjalannya waktu, masjid ini sempat tak digunakan oleh para pangeran. Sunarwiyadi menuturkan, Masjid Sela sempat tidak digunakan dalam kurun waktu antara puluhan hingga ratusan tahun.
Penyebab masjid itu tidak digunakan adalah para pangeran hijrah ke bangunan utama keraton yang saat ini berada.
Masjid Sela Foto: Edzan Raharjo
|
Pada saat tak digunakan, fungsi masjid juga berubah menjadi tempat menyimpan keranda jenazah. Pada akhirnya, warga memberanikan diri bersurat ke keraton untuk meminta izin menggunakan Masjid Selo sebagai tempat ibadah.
“Tahun 1965 beberapa tokoh masyarakat melihat ada masjid kecil tidak digunakan, lalu kirim surat ke Keraton mohon izin gunakan, lalu diizinkan. Kena dinggo, tapi ora kena diowah-owah (boleh dipakai tapi tidak boleh diubah), balasannya sederhana,” kisahnya.
Oleh masyarakat, masjid lalu dibersihkan dan keranda jenazah dipindahkan. Selang waktu, akhirnya Masjid Selo kembali difungsikan menjadi tempat ibadah salat. Bangunan inti masjid bisa menampung hingga sekitar 30 jemaah.
Sunarwiyadi memastikan bangunan Masjid Sela masih asli. Renovasi hanya dilakukan di bagian lantai yang awalnya memakai semen batu merah dengan alas kepang dan tikar.
“Lalu sekarang sudah direnovasi dan menggunakan keramik,” ujarnya.
Terkait desain masjid, Sunarwiyadi mengaku sempat mendapat cerita ada campur tangan arsitek asal Portugis. Sosok ini pula yang turut mendesain bangunan Keraton Jogja dan Tamansari. Terbukti dari sejumlah kesamaan detail bangunan.
Walau dikerjakan arsitek Portugis, namun Masjid Selo tetap mengusung kearifan lokal. Ditunjukkan dengan pintu masuk bangunan yang pendek sehingga jamaah harus menunduk saat akan masuk ke masjid.
“Bangunan inti masih asli yang tengah. Kalau kiri kanan bangunan tambahan. Dulu kolam itu sumber airnya dari sungai Winongo. Sekarang sudah tidak ada, tapi salurannya masih ada cuma tidak dipakai lagi,” katanya.
Untuk bangunan inti memiliki luas 6 meter X 8 meter. Dalam kondisi normal bisa menampung hingga 30 jamaah. Sementara dengan bangunan tambahan bisa mencapai 150 jamaah.
Terkait agenda Ramadan 2024, diisi dengan beragam agenda. Mulai dari berbagi takjil, TPA anak hingga tadarus. Penyelenggaraan salat tarawih juga menggunakan bangunan inti. Selain itu juga ada dua bangunan tambahan di sisi kanan dan kiri masjid.
“Agenda Ramadan itu habis Isya, tarawih lalu tadarus dua kelompok. Ada ibu-ibu dan bapak-bapak di tengah sini, terpisah. Lalu untuk iktikaf itu di 10 hari terakhir,” ujarnya.
——
Artikel ini telah naik di detikJogja.
Simak Video “Catat! Kegiatan Ramadan di Masjid Istiqlal Selama Bulan Puasa“
[Gambas:Video 20detik]
(wsw/wsw)