Selasa, Mei 14

Jakarta

RM (22), mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Jambi (FH Unja) yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) modus ferienjob ke Jerman, menceritakan salah satu hal yang paling menyedihkan baginya. Mahasiswi tingkat akhir Fakultas Hukum Unja ini dijadikan kuli bangunan di apartemen pribadi milik warga Jerman bernama Anna, dan upahnya tak dibayar.

RM menuturkan Anna adalah bos agen tenaga kerja RAC. RAC ini merupakan salah satu dari tiga agen yang bekerja sama dengan agen di Indonesia, PT SHB.

“Tanggal 27 Desember saya dapat pekerjaan lagi, tapi tanpa kontrak kerja, tanpa penjelasan. Tiba-tiba disuruh datang ke kantornya RAC di Bremen, datang ke sana ditemui sama Anna namanya, dan ketika itu Anna bawa kita naik mobil, kita nggak tahu dibawa ke mana. Tiba-tiba sampai ke apartemen pribadi milik Anna,” cerita RM kepada detikcom, Rabu (27/3/2024).


RM pun merasa khawatir, namun pasrah karena dia harus tetap bekerja untuk membayar utang kepada agen. “Aku pikir mau diapain kan. Menyedihkannya, aku dijadiin tenaga untuk renovasi apartemen pribadi Anna. Sebut saja kerjaannya kuli bangunan,” imbuh RM.

Meski demikian RM berusaha berpikir positif, walau sadar dia minta bekerja sebagai kuli bangunan tanpa surat kontrak. Dia pun menuruti perintah Anna untuk mengelupas cat dinding, mengelupas wallpaper, dan membongkar papan yang terpasang di lantai apartemen.

“Tidak ada kontrak kerja, tidak ada pemberitahuan akan digaji berapa, durasi bekerja berapa lama. Tidak ada dijelaskan soal standar keselamatan kerja, SOP-nya bagaimana, tapi ya disuruh bekerja saja langsung. Tanpa bias gender, kerjaan ini untuk laki-laki,” jelas RM.

“Waktu itu kita diminta ngupasin cat, wallpaper foam. Dan itu sampai harus naik-naik lipat tangga karena dindingnya tinggi. Dan lantai papan kita bongkar, dan itu sisi-sisi ujungnya tajam, materialnya kita angkut dari apartemen Anna di lantai 3 ke lantai 1. Alat-alat untuk bertukang ini juga nggak difasilitasi, jadi sangat rentan untuk keselamatan kerja,” imbuh RM.

RM mengaku dua hari dipekerjakan sebagai kuli bangunan di apartemen Anna karena pada 29 dan 30 Desember dia harus persiapan pulang ke Indonesia, lantaran masa ferienjob-nya usai. Hingga kini RM tak menerima upahnya sebagai kuli bangunan.

“Nggak dibayar. Saya tanya, ‘Kita nih dibayar nggak sih?’. Anna bilang, ‘Iya nanti Brisk (agen penyalur RM di Jerman sebelumnya) yang bayar’. Tapi kita sampai sekarang tidak tahu apa itu dibayar atau nggak, dan kan nggak ada kontrak kerjanya,” tutur RM.

Sebelumnya, RM membagikan pengalaman getirnya menjadi korban perdagangan orang modus kerja magang ke Jerman lewat program Ferienjob. RM menyebutkan hidupnya luntang-lantung sejak awal ketibaan di Jerman, dan sepulang ke Tanah Air pada 30 Desember 2023, dia malah terlilit utang.

Janji upah kerja puluhan juta hanya isapan jempol belaka. RM mengaku agen yang menyalurkannya untuk ferienjob di Jerman tidak memberinya pekerjaan yang jelas.

“Sebelum berangkat, saya sudah tanya ke contact person di flyer ferienjob soal akomodasi, transportasi dan makan selama di Jerman bagaimana. Katanya gratis. Saya cuma harus siapin paspor dan visa. Pas sudah berjalan proses rekrutmen, kami diberi tahu nanti ada yang bantu dana talangan, yang katanya nanti pasti ketutup dengan gaji di Jerman,” kata RM.

Perempuan berusia 22 tahun ini mengaku berangkat pada 11 Oktober 2023 karena agen menjanjikan sudah ada pekerjaan yang menunggunya di Jerman. Sesampai di Jerman, dia menganggur karena pihak agensi mengatakan belum ada lowongan pekerjaan yang tersedia.

Agen pekerja di Jerman yang menampung RM dan teman-teman dari universitasnya adalah Brisk United GmbH. Sementara agen penyalurnya dari Indonesia ke Jerman adalah PT CVGen dan PT SHB.

Pada akhir Oktober 2023, RM lalu mengaku lega karena dia akhirnya bisa bekerja, meski sebagai kuli angkut barang di perusahaan ID Logistic. Upahnya 13 euro per jam, dan dibayar lewat agensi Brisk United GmbH. RM mengatakan saat itu dia memikirkan bagaimana membayar utang pengurusan paspor, visa, working permit kepada PT SHB sebesar Rp 350 euro dan utang tiket pesawat Jakarta-Jerman pulang-pergi Rp 24,8 juta.

“Sekilas aku dengar upah per jamnya itu 15 euro. Tapi Brisk kasih kita 13 euro per jam, padahal kita dikenain biaya akomodasi per hari 20 euro terhitung sejak kita sampai di Jerman. Pasrah saja, nggak ada pilihan, karena kalau banyak omong nanti khawatir dipecat. Dan kita sering dapat sif sore yang pulangnya tengah malam, mau nggak mau harus keluar uang untuk biaya taksi. Harusnya yang tanggung jawab untuk transportasi Brisk, tapi ini kita keluar uang sendiri,” imbuh dia.

“28 November kita dikasih surat pemutusan kontrak kerja oleh Brisk, dan saya sudah tidak bisa lagi bekerja di ID Logistic mulai 2 Desember. Awalnya Brisk bilang kita nggak bisa penuhi target kerja. Saat kita bilang alasannya berlawanan dengan pujian ID Logistic ke kita, Brisk rubah alasannya lagi. Akhirnya kita nganggur lagi,” cerita RM.

RM menuturkan upah kerjanya periode November tersebut hanya tersisa Rp 1 juta karena langsung dipotong agensi yang menalanginya biaya tempat tinggal dan tiket pesawat, transportasi, dan makan sehari-hari.

“Pada 8 Desember, Brisk memberi informasi lowongan untuk kerja tanggal 11 Desember di bidang pertanian, via email. Tapi Brisk garis bawahi transportasi dan akomodasi dibebankan ke kami. Pekerjaannya sangat mencurigakan karena di perbatasan Jerman-Denmark, dan kalau bilang di bidang pertanian, saat itu kan musim salju. Akhirnya ada dua perwakilan teman mahasiswa yang ngecek dulu lah pekerjaannya seperti apa. Yang mengejutkan pertanian tersebut milik keluarga pemilik RAC, agensi di Jerman yang juga kerja sama dengan PT SHB,” jelas RM.

“Karena kayanya kita dikerjain, kita nggak datang ke pertanian itu tanggal 11. Brisk kasih surat peringatan pemutusan kontrak kerja karena saya nggak datang tanggal 11. Tanggal 15 Desember kita disuruh tanda tangan lagi kontrak kerja, kerja tanggal 19 Desember di pabrik buah di Hanover. Hari pertama Brisk sediakan transportasi taksi, tapi itu jaraknya jauh banget 2,5 atau 3,5 jam perjalanan. Biaya taksinya pulang-pergi sekitar Rp 2 juta, dan itu kita harus ganti dari potong gaji lagi,” jelas RM.

RM pun ditempatkan di ruangan dengan suhu sangat dingin, dan diharuskan berdiri selama 11 jam untuk sortir buah. Di hari kedua, RM menyebut Brisk kembali hilang kabar dan tak memberikan fasilitas transportasi sehingga RM dan kawannya berjalan selama 1,5 jam dalam kondisi suhu 4 derajat Celsius, hujan, dan kondisi gelap karena di pedalaman, sampai akhirnya sampai stasiun kereta untuk pulang.

“Tanggal 23 saya dipindahkan lagi di Bremen. Di apartemen tersebut ada tiga kamar, dan masing-masing kamar tanpa kunci, dan kami dicampur dengan warga negara asing laki-laki dan perempuan. Tim saya tersisa tiga orang waktu itu karena sudah terpisah-pisah. Kami nganggur lagi,” ungkap RM.

Di hari terakhirnya ferienjob, RM kembali dipekerjakan sebagai kuli bangunan bersama mahasiswi lainnya. Beban RM tak sampai di situ, setibanya di Tanah Air PT SHB menerornya untuk membayar utang-utang selama di Jerman.

“Sampai di sini dikasih somasi sama agen di sini untuk segera bayar utang saya Rp 7 jutaan, ditagihin tiap hari. Tapi sudah dua mingguan ini nggak ditagihin lagi, mungkin karena kasusnya sudah jadi atensi,” pungkas dia.

(aud/fjp)

Membagikan
Exit mobile version