Sabtu, Januari 11


Agrigento

Agrigento, kota bersejarah di Sisilia, menghadapi krisis air akibat perubahan iklim dan lonjakan wisatawan. Kekurangan air mengancam situs bersejarah dan bisnis lokal.

Kondisi itu berpotensi semakin buruk karena lonjakan jumlah wisatawan terus terjadi di masa datang. Terletak di puncak bukit di pantai barat daya Sisilia, kota tersebut sudah sejak lama mengalami kekurangan air.

Melansir The Mirror, Kamis (9/1/2025) cadangan air umumnya disimpan dalam tangki dan pasokan air dilakukan menggunakan truk tangki. Namun, perubahan iklim dan musim kemarau yang panjang memperburuk kondisi tersebut.


Sumber air di Agrigento bergantung pada saluran air bawah tanah yang sudah tua dan sering mengalami kebocoran. Meskipun pihak berwenang sudah merencanakan perbaikan sistem air sejak 2011, hingga kini belum ada tindakan konkret.

Pada Mei 2024, Pemerintah Italia mengalokasikan dana sebesar 20 juta euro (Rp 340 miliar) untuk membeli truk tangki air dan menggali sumur baru di Sisilia, namun hanya sekitar 17% dari pekerjaan tersebut yang telah selesai pada Juli 2024.

Menurut Fodor’s, kekurangan air juga mengancam situs-situs bersejarah di Agrigento seperti Lembah Kuil yang merupakan salah satu lanskap pertanian penting di daerah itu. Kekeringan yang berkelanjutan berisiko merusak atau mengubah kondisi situs tersebut.

Selain itu, kekurangan air memaksa beberapa bisnis untuk tutup dan banyak rumah tangga yang mulai menyimpan air dalam wadah untuk keperluan sehari-hari seperti memasak dan mencuci. Beberapa hotel kecil dan wisma tamu pun kesulitan menyediakan air yang cukup untuk tamu mereka.

Di musim panas, situasinya bahkan semakin parah dengan beberapa akomodasi membatasi jumlah pemesanan karena tidak bisa menjamin pasokan air yang memadai seperti untuk toilet.

Salah seorang pemilik properti sewa jangka pendek di kota tersebut mengungkapkan bahwa ia terpaksa memasang dua tangki air, karena satu tangki tidak lagi cukup. Jika keadaan terus berlanjut, ia berencana untuk menutup properti dan membatalkan semua reservasi.

Beberapa hotel juga telah memasang aerator di keran untuk mengurangi aliran air di wastafel dan toilet. Pemerintah daerah telah merencanakan beberapa langkah untuk mengatasi masalah tersebut, baik jangka pendek maupun jangka panjang.

Di antaranya adalah mengaktifkan kembali sumur-sumur yang tidak terpakai, memelihara bendungan, serta membangun pabrik desatinasi baru. Penelitian terbaru juga menemukan endapan air bawah tanah yang akan dieksplorasi lebih lanjut.

Sejatinya, Agrigento sebetulnya telah mengalami kekeringan parah selama 30 tahun terakhir dan situasi itu semakin parah. Pada Februari 2024, pemerintah mengumumkan keadaan darurat air yang berlaku hingga akhir tahun.

Selama musim panas, penjatahan air diterapkan dan beberapa penduduk terpaksa mengurangi konsumsi air mereka hingga 45%. Pada bulan Agustus, protes warga meletus akibat ketidakpuasan terhadap kebijakan tersebut.

Organisasi serikat pekerja dan otoritas gereja (Cartello Sociale) menyatakan bahwa situasi air di kota ini semakin tidak berkelanjutan, dengan sering terjadinya gangguan layanan dan distribusi yang tidak merata.

Bagi Agrigento yang ekonominya sangat bergantung pada pariwisata, para pejabat enggan membatasi jumlah wisatawan yang datang. Namun, semakin banyak pengunjung berarti semakin besar tekanan pada sistem air kota tersebut.

Profesor perencanaan kota di Universitas Palermo, Giuseppe Abbate, memperingatkan bahwa jika kekeringan dan krisis air terus berlanjut. Acara besar seperti Ibu Kota Kebudayaan Agrigento 2025 yang diharapkan menarik wisatawan domestik dan internasional, bisa menghadapi masalah serius.

“Jika periode kekeringan dan darurat air terus berlanjut, jelas bahwa hal itu dapat menimbulkan masalah serius bagi acara seperti Ibu Kota Kebudayaan Agrigento 2025 yang akan menarik banyak pengunjung dan wisatawan lokal maupun mancanegara,” kata Abbate.

(upd/fem)

Membagikan
Exit mobile version