Sabtu, Maret 22
Jakarta

Menjelang tahun pertama kuliah, aku membuat keputusan besar untuk merantau ke Bogor, meninggalkan tanah kelahiranku di Kalimantan. Pilihan ini tentu tidak mudah, meninggalkan rumah, keluarga, dan teman-teman yang sudah seperti saudara sendiri.

Namun, ada semangat petualangan dalam hatiku yang membara, ingin mencoba hal baru di tempat yang jauh dari kampung halaman. Setahun pertama di perantauan, aku merasakan berbagai tantangan dan adaptasi yang cukup berat, dari menyesuaikan diri dengan budaya yang berbeda hingga menjalani kehidupan sebagai mahasiswa yang penuh dengan tugas dan tekanan akademik.

Perlahan aku mulai terbiasa dan bahkan menikmati ritme kehidupanku di Bogor. Tahun 2024 menjadi momen yang berbeda bagi keluargaku. Selama ini, setiap Lebaran, biasanya kami berkumpul di Pontianak, kota asalku. Namun, karena semua saudara kandungku juga sudah berada di Pulau Jawa, orang tuaku memutuskan untuk merayakan Lebaran di sana, tepatnya di rumah tanteku di Malang.


Rasanya senang sekaligus berat, merayakan Lebaran jauh dari rumah, tetapi tetap bersama keluarga besar. Setibanya di Malang, suasana kehangatan keluarga langsung terasa. Rumah tanteku menjadi pusat kumpul keluarga dari pihak ayahku.

Suasana dipenuhi canda tawa, obrolan, dan aroma masakan Lebaran, membangkitkan nostalgia saat bertemu saudara yang sudah lama tak kujumpai.

Pagi hari lebaran pertama, kami melaksanakan salat Idulfitri bersama di masjid dekat rumah tanteku. Setelah itu, seperti tradisi pada umumnya, kami melakukan sungkeman, saling memohon maaf dan memberikan doa.

Momen ini selalu menjadi bagian yang paling mengharukan. Aku melihat sepupu-sepupuku yang sudah semakin dewasa, mengingatkan aku bahwa waktu terus berjalan dan kebersamaan seperti ini adalah sesuatu yang berharga.

Setelah dua hari menikmati kebersamaan di Malang, kami sepakat untuk melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta. Selain ingin berwisata, kami juga berniat untuk mengunjungi makam kakek dan nenek di sana.

Perjalanan dari Malang ke Yogyakarta memakan waktu beberapa jam dengan mobil. Kami sampai di Yogyakarta sekitar pukul 11 siang. Setelah istirahat sejenak, sepupuku mengajak aku dan saudaraku untuk jalan-jalan di sekitar kota.

Destinasi pertama kami adalah Taman Sari Water Castle, sebuah bangunan bersejarah yang dulunya merupakan tempat peristirahatan keluarga kerajaan. Begitu memasuki area ini, aku langsung terpesona dengan arsitektur khas Jawa yang dipadukan dengan pengaruh Portugis.

Lorong-lorong bawah tanahnya menyimpan kisah masa lalu, sementara kolam pemandian yang masih terawat membawa imajinasi ke masa kejayaan kerajaan Mataram. Aku benar-benar menikmati perjalanan di sini, bukan hanya karena tempatnya yang indah, tetapi juga karena akhirnya bisa menghabiskan waktu dengan sepupuku. Kami jarang bertemu, tetapi dalam momen ini, kami merasa lebih dekat dari sebelumnya.

Keesokan harinya, kami melanjutkan perjalanan ke Air Terjun Tumpak Sewu. Perjalanan menuju lokasi ini memakan waktu beberapa jam dari pusat kota. Begitu sampai, kami langsung terpukau dengan pemandangan yang menyerupai miniatur Air Terjun Niagara. Sebelum turun ke bawah, kami menyempatkan diri untuk berfoto di bagian atas, mengabadikan panorama air terjun dari kejauhan.

Namun, tantangan sesungguhnya baru dimulai. Jalur trekking menuju dasar air terjun cukup ekstrem. Jalanan yang terjal, curam, dan berliku-liku membuat perjalanan terasa menegangkan. Beberapa bagian jalur bahkan hanya bisa dilewati satu orang dalam sekali waktu.

Dengan hati-hati, kami menuruni jalan setapak yang licin. Jantungku berdebar setiap kali kaki menyentuh tanah yang agak licin. Aku berpegangan erat pada tali yang disediakan di sisi jalur untuk menjaga keseimbangan.

Saat akhirnya mencapai dasar air terjun, semua rasa lelah dan ketegangan hilang seketika. Air yang jernih, deburan air yang jatuh dari ketinggian, serta suasana alami yang asri membuat semua usaha terbayar lunas.

Kami berfoto, bermain air, dan menikmati setiap detik yang kami habiskan di sana. Sayangnya, kami harus segera kembali ke atas sebelum hari beranjak malam. Perjalanan naik jauh lebih melelahkan daripada turun. Kaki yang sudah kelelahan harus dipaksa mendaki jalur yang sama terjalnya.

Setiap langkah terasa berat, tetapi semangat untuk sampai di atas membuat kami tetap maju. Setelah perjuangan yang cukup panjang, akhirnya kami berhasil mencapai puncak dengan napas tersengal tetapi penuh kepuasan.

Kami menghabiskan waktu sejenak di atas untuk membilas tubuh dan juga menyantap mie instan. Perjalanan ini memberikan banyak kenangan yang tak terlupakan. Bisa berkumpul dengan keluarga besar, mengunjungi tempat-tempat bersejarah, menikmati wisata alam yang menantang, serta mempererat hubungan dengan saudara membuat pengalaman ini sangat berharga.

Aku sangat bersyukur bisa menciptakan momen-momen indah ini bersama orang-orang terkasih. Dan yang terpenting, perjalanan ini mengajarkanku bahwa sejauh apa pun kita merantau, keluarga tetap menjadi tempat pulang yang sesungguhnya.

Membagikan
Exit mobile version