Jakarta –
Hasil investigasi terungkap soal dugaan pemerasan dalam kasus perundungan yang berujung kematian dr ARL, mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) anestesi Universitas Diponegoro (Undip). Anggota Komisi IX DPR Arzeti Bilbina menilai hal tersebut tak bisa dianggap sepele.
“Perundungan di lingkungan pendidikan tidak bisa lagi dianggap sepele. Reformasi sistem pendidikan kedokteran spesialis dan pengawasan yang sangat ketat mutlak dilakukan,” kata Arzeti kepada wartawan, Selasa (3/9/2024).
Arzeti mengatakan kasus dr ARL perlu menjadi perhatian khusus. Sebab, pemerasan sudah masuk ke ranah pidana dan harus dipertanggungjawabkan.
“Kasus ini harus perhatian khusus karena ini bentuk pemerasan, sudah kriminal dan sangat meresahkan. Harus ada pertanggungjawaban secara pidana. Ini sangat mengkhawatirkan karena perundungan bukan lagi soal fisik dan mental, tapi pemerasan juga,” tuturnya.
Menurut Arzeti, kasus dr ARL menjadi tamparan keras bagi sistem pendidikan residens dokter spesialis. Ia mengatakan kasus tersebut harus dijadikan momen untuk berbenah di lingkungan PPDS.
“Kasus ini harus menjadi momentum bagi semua pihak untuk berbenah. Perundungan di lingkungan pendidikan, apalagi di bidang kedokteran, sangat merusak proses pembentukan karakter dan kualitas profesional calon dokter yang akan melayani masyarakat,” jelas Arzeti.
“Permintaan uang yang tidak wajar menunjukkan adanya ketidakadilan dalam akses pendidikan. Tidak semua mahasiswa memiliki kemampuan finansial yang sama, sehingga praktik seperti ini dapat menghambat mahasiswa yang kurang mampu untuk melanjutkan studi,” lanjutnya.
Politisi PKB ini mendorong pemerintah melakukan evaluasi sistem pendidikan spesialis kedokteran di Indonesia, melihat sudah terbukti banyaknya kasus perundungan di jalur PPDS. Arzeti menilai, pengawasan dan perlindungan terhadap mahasiswa dan residen ini harus diutamakan.
“Evaluasi harus mencakup perbaikan dalam tata kelola pendidikan kedokteran spesialis, pembentukan mekanisme pengaduan yang aman dan efektif, serta penegakan aturan yang tegas terhadap tindakan perundungan,” paparnya.
“Pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat harus bekerja sama untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, sehat, dan berkualitas. Hanya dengan demikian kita dapat memastikan bahwa para lulusan kita siap untuk memberikan pelayanan kesehatan terbaik bagi masyarakat Indonesia,” sambung Arzeti.
Arzeti menilai reformasi pendidikan harus melibatkan berbagai pihak, termasuk mahasiswa, dosen, dan pihak independen. Perbaikan juga menurutnya harus dilakukan secara transparan.
“Perbaikan yang dilakukan harus transparan dan bisa diakses oleh publik. Masyarakat berhak tahu apa yang sedang dilakukan oleh Pemerintah dan institusi pendidikan untuk mencegah peristiwa serupa terjadi di masa depan,” tutur Arzeti.
Sebelumnya, Kementerian Kesehatan RI mengungkapkan adanya dugaan pemalakan dalam kasus perundungan yang berujung kematian dr ARL.
Sebelumnya dilansir detikhealth, Juru bicara Kemenkes RI, Mohammad Syahril menyebut dugaan ini diperoleh dari hasil proses investigasi terbaru. Adapun pemalakan tersebut dilakukan oleh oknum-oknum dalam program tersebut kepada almarhum dr ARL. Permintaan uang berkisar antara Rp 20 hingga 40 juta per bulan.
“Berdasarkan kesaksian, permintaan ini berlangsung sejak almarhumah masih di semester 1 pendidikan atau di sekitar Juli hingga November 2022,” ucap dr Syahril dalam keterangan resmi, Minggu (1/9/2024).
(eva/maa)