
Jakarta –
Belakangan fenomena penipuan deepfake yang terjadi di Indonesia, mengakibatkan banyak kebingungan dan kerugian di kalangan masyarakat indonesia.
Deepfake dibuat menggunakan teknik deep learning dan generative adversarial networks (GANs). Teknologi ini bekerja dengan menganalisis dan mempelajari data dalam jumlah besar. Hasil dari teknologi tersebut menciptakan rekayasa visual atau audio yang menyerupai peristiwa nyata, namun sebenarnya artifisial.
Untuk membahas Deepfake ini, perusahaan solusi keamanan bisnis digital Verihubs menggandeng Google Cloud dan mengadakan acara seminar bertajuk Faces of Fiction: Deepfake Awareness & Prevention, 19 Februari 2025 lalu di Jakarta.
Acara tersebut dihadiri peserta dari berbagai latar belakang industri yang aktif berpartisipasi dalam diskusi perkembangan teknologi deepfake dan langkah-langkah keamanannya dalam bisnis. Deepfake adalah jenis media sintetis yang dibuat menggunakan kecerdasan buatan (AI).
Jason Hartono, VP of Strategy dari Verihubs menjelaskan bahwa konsep dari perkembangan teknologi deepfake sudah dimulai dari puluhan tahun lalu terutama dalam industri pembuatan film.
“Deepfake merupakan teknologi yang sudah berevolusi dari beberapa dekade lalu, bisa dilihat konsep awal teknologi deepfake sudah ada dari tahun 90an dimana teknologi ini digunakan untuk dunia perfilman,” jelas Jason, dalam keterangan yang diterima detikINET.
Bagaimana Deepfake Meretas Sistem Keamanan dan Cara Menghadapinya?
Cara pertama adalah menggunakan aplikasi kloning. Aplikasi ini pengguna untuk menggandakan aplikasi perbankan di ponsel mereka, dan masuk ke beberapa akun secara bersamaan. Hal ini mempersulit pendeteksian aktivitas penipuan secara real-time.
Yang kedua adalah dengan Virtual Camera, dimana para penipu menggunakan kamera yang dimanipulasi secara digital. Teknologi ini memungkinkan pengguna untuk mengalihkan apa yang dianggap aplikasi perbankan sebagai umpan kamera langsung ke umpan yang dimanipulasi secara digital menggunakan perangkat lunak atau bahkan menggunakan video dan gambar lokal yang telah disiapkan sebelumnya.
Metode terakhir yang paling umum digunakan adalah Face Swap berbasis AI. Teknologi ini memungkinkan pelaku untuk mengganti fitur wajah seseorang dengan wajah siapa pun yang mereka unggah, sehingga dapat menipu sistem verifikasi digital dengan mudah.
Metode ini juga ditampilkan dalam acara Faces of Fiction, yang menunjukkan betapa mudahnya teknologi ini disalahgunakan untuk tindak penipuan. Dengan semakin canggihnya AI, ancaman deepfake pun menjadi semakin nyata dan dapat diakses oleh siapa saja.
Risiko penipuan deepfake tentu bisa dicegah dengan berbagai cara. Salah satu langkah paling efektif adalah memanfaatkan teknologi canggih untuk melawan ancaman ini. Jason menjelaskan bahwa banyak orang mengira liveness detection sudah cukup untuk menghadapi deepfake, padahal kenyataannya tidak demikian.
“Liveness detection hanya dapat memastikan apakah wajah seseorang yang di depan kamera itu nyata atau bukan–foto cetak, foto digital, maupun topeng, tetapi tidak bisa mendeteksi apakah wajah tersebut autentik tanpa adanya real time digital manipulation,” jelas Jason.
Oleh karena itu, diperlukan teknologi yang lebih advanced, seperti Deepfake Detection, untuk menangkal kejahatan berbasis AI ini.
“Inilah alasan Verihubs mengembangkan Deepfake Detection, teknologi berbasis AI yang mampu mendeteksi manipulasi deepfake dengan lebih akurat,” tutupnya.
(asj/asj)