Minggu, Oktober 27

Jakarta

Tanda-tanda kelelahan Bumi makin jelas dalam penelitian ilmuwan. Dalam studi baru, lebih dari separuh produksi pangan dunia berisiko kolaps dalam 25 tahun ke depan akibat krisis air global yang terus meningkat.

Global Commission on the Economics of Water menyebut perubahan iklim, penggunaan lahan yang merusak dan salah urus sumber daya air berarti hampir 3 miliar orang dan lebih dari separuh produksi pangan global ada di wilayah dengan tekanan yang belum pernah terjadi sebelumnya di sistem air.

Beberapa kota sudah menurun permukaannya akibat hilangnya air tanah. Selain itu, hingga 8% produk domestik bruto (PDB) global dan 15% PDB negara-negara berpenghasilan rendah akan hilang di 2050 akibat krisis ini.


“Saat ini, setengah populasi dunia menghadapi kelangkaan air. Karena sumber daya vital ini kian langka, ketahanan pangan dan pembangunan manusia terancam dan kita membiarkannya terjadi., kata Johan Rockstrom, direktur Potsdam Institute for Climate Impact Research yang dikutip detikINET dari Live Science.

“Untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia, kita mendorong siklus air global menjadi tidak seimbang. Curah hujan, sumber dari semua air tawar, tidak dapat lagi diandalkan karena perubahan iklim dan penggunaan lahan oleh manusia,” tambahnya.

Tiap orang membutuhkan 50 hingga 100 liter air sehari untuk kesehatan dan kebersihan, tapi komisi tersebut menemukan jumlah ini merupakan perkiraan sangat rendah. Jumlah sebenarnya untuk konsumsi yang memadai 4.000 liter per orang tiap hari. Volume ini tidak dapat diperoleh di banyak bagian dunia.

Beberapa tahun terakhir, Amazon mengalami kekeringan parah yang mengancam mengubah hutan hujan menjadi sabana, gletser mencair dengan kecepatan yang belum pernah terjadi, dan Eropa mengalami banjir mematikan.

Yang memperparah masalah ini adalah harga air terlalu rendah di banyak daerah. Itu memungkinkan air di wilayah yang sudah tertekan malah dialihkan untuk data center dan pembangkit listrik tenaga batu bara. Dengan harga dan subsidi tepat, beralih ke pola makan nabati, memulihkan alam, dan daur ulang air limbah, peneliti berpendapat air dapat didistribusikan lebih efisien dan adil.

“Krisis air global merupakan tragedi tetapi juga merupakan peluang untuk mengubah ekonomi air dan untuk memulai dengan menilai air secara tepat sehingga dapat mengenali kelangkaannya dan manfaat yang diberikannya,” kata Ngozi Okonjo-Iweala, direktur jenderal WTO.

(fyk/fyk)

Membagikan
Exit mobile version