Minggu, Juli 7

Jakarta

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengungkapkan alasan mengapa media baru, seperti YouTube, Netflix, maupun Instagram, harus diawasi.

Meski era sudah digital, KPI saat ini baru memiliki kewenangan mengawasi penyiaran yang berbasis free to air, seperti pertelevisian dan radio. Sedangkan, platform digital tidak diawasi KPI karena belum adanya kewenangan pengawasan terhadap media baru.

“Karena mereka sama-sama, khususnya di Indonesia, dapat penghasilan layanan audiovisual juga untuk OTT (over the top). Sehingga apa? Memang pengaturan (media baru) itu keniscayaan,” ujar Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat Tulus Santoso di Forum Group Discussion (FGD) yang digelar Mastel Indonesia di Jakarta, Rabu (3/7/2024).


Dalam pemaparan FGD ini, Tulus memaparkan diperlukannya pengawasan di media baru, mulai dari memiliki dampak yang cukup besar karena memfasilitasi kemungkinan bagi pengguna untuk membentuk dan mempengaruhi persepsi pengguna lainnya.

Kemudian, hal ini untuk melindungi anak-anak dan semua warga dari konten berbahaya, seperti hasutan kebencian, kekerasan, seksualitas, dan terorisme. Terakhir, karena mereka bersaing untuk audiens dan pendapatan yang sama dengan layanan media audiovisual.

“Model pengaturannya seperti apa? tentu wajib diskusikan mana yang kemudian relevan dan tidak,” kata Tulus.

Ia kemudian mencontohkan Audio Visual Media Service Directive (AVMSD) pada 2018 di Eropa bahwa dunia tampak gagap terhadap kehadiran media baru. Dalam aturan tersebut, platform digital seperti media sosial harus tunduk pada aturan tersebut.

“Memang dunia ini gagap ya, jadi Amerika ini bikin platform tapi negara lain yang bikin aturan,” ucapnya.

Sementara itu, KPI mempersoalkan ketiadaan aturan di Indonesia yang belum mengawasi media baru. Adapun, RUU Penyiaran saat ini kondisinya masih dalam pembahasan.

“Negara lain mengatur kok dan memang dalam konteks perlindungan ini harus diatur. Jadi, bukan hanya bicara industri penyiaran di Indonesia ini survive tapi kita juga bicara perlindungan kepada masyarakat. Perlindungan ini bukan berarti masyarakat nggak boleh ngapa-ngapain, bikin video, tapi juga perlindungan karya mereka tetap bisa tumbuh dan bisa dinikmati,” pungkas Tulus.

(agt/fay)

Membagikan
Exit mobile version