Selasa, Maret 18

Jakarta

Merasa bukan miliknya, seorang pria di Quebec, Kanada, meminta dokter mengamputasi jari keempat dan kelima di tangan kirinya. Padahal kedua jari tangan pria berusia 20 tahun yang tak disebutkan namanya itu dalam kondisi sehat dan tak ada penyakit apapun.

Namun karena keberadaan dua jari tersebut malah membuat pria ini hidup dalam tekanan. Menurut laporan kasus yang dipublikasikan oleh dr Nadia Nadeau dari Departemen Psikiatri di Université Laval, pria tersebut mengalami trauma pikiran bahwa dua jari terakhir di tangan kirinya bukan miliknya sejak anak-anak. Ia diketahui mengidap body integrity identity disorder (BIID).

Dikutip dari Cleveland Clinic, BIID atau disebut disforia integritas tubuh adalah fenomena yang sangat langka yang ditandai dengan keinginan yang kuat dan terus-menerus untuk memperoleh disabilitas fisik. Hal ini menyebabkan seseorang merasa seolah-olah anggota tubuh atau bagian tubuh yang sehat tidak boleh menjadi bagian dari tubuhnya.


Akibatnya, pasien akan meminta penyedia layanan kesehatan untuk mengamputasi anggota tubuh yang sehat atau mencoba melakukan amputasi sendiri, yang berbahaya dan berpotensi mengancam nyawa. Terdapat pilihan pengobatan yang tersedia untuk membantu mengelola kondisi ini dan menghindari amputasi anggota tubuh yang sehat atau mencegah pasien melakukan perilaku berbahaya.

Sepanjang hidupnya, pria ini merasa kedua jari tangan kirinya itu bukanlah miliknya. Pikiran tersebut membuat hidupnya sangat berantakan. Ia menjadi lebih mudah tersinggung, kesakitan, hingga mengalami gangguan ketangkasan.

Tak hanya itu, ia juga sering mengalami mimpi buruk bahwa kedua jarinya itu membusuk dan terbakar.

dr Nadia melaporkan bahwa pasien tidak menceritakan kesusahannya mengenai jari-jarinya kepada keluarga karena rasa malu setelah sering berfantasi untuk mengamputasi jari-jarinya sendiri.

“Saat bekerja di pabrik penggergajian kayu, dia mempertimbangkan untuk membuat guillotine kecil untuk memotong jari-jarinya,” tulisnya, dikutip dari People.

“Dia sadar bahwa tindakan menyakiti diri sendiri bukanlah solusi yang aman dan dapat berdampak pada hubungan, reputasi, dan kesehatannya. Dia tidak bisa membayangkan dirinya hidup bertahun-tahun yang akan datang dengan jari-jari itu,” lanjutnya.

Pria tersebut lantas menjalani serangkaian pemeriksaan. Hasil pencitraan menunjukkan bahwa otak pria tersebut dalam kondisi normal. Ia kemudian ditawarkan untuk menjalani pengobatan non-invasif, termasuk terapi perilaku kognitif, antidepresan, antipsikotik, dan terapi pemaparan.

Akan tetapi, semua perawatan yang dijalaninya itu dilaporkan tak membuahkan hasil.

“Dianggap mampu meminta amputasi, dia dirujuk ke ahli ortopedi dan menghentikan pengobatan psikotropikanya melalui keputusan kolaboratif dengan psikiater yang merawatnya,” kata laporan tersebut.

Enam bulan kemudian, pria tersebut menjalani amputasi elektif yang dilakukan oleh ahli bedah ortopedi di rumah sakit setempat.

NEXT: Kondisi Terkini Pasca Amputasi

Membagikan
Exit mobile version