Jumat, Maret 14


Jakarta

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati merilis kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025. Sampai Februari, terjadi defisit Rp 31,2 triliun atau setara dengan 0,13% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

“Terjadi defisit Rp 31,2 triliun untuk posisi akhir Februari atau sebesar 0,13% dari PDB,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTA di kantornya, Jakarta Pusat, Kamis (13/3/2025).

Sri Mulyani menyebut defisit APBN di awal tahun itu masih dalam rentang desain APBN 2025 yang direncanakan terjadi defisit Rp 616,2 triliun atau 2,53% terhadap PDB.


“Saya ingatkan kembali APBN didesain dengan defisit Rp 616,2 triliun, jadi defisit 0,13% masih dalam target desain APBN sebesar 2,53% dari PDB,” imbuhnya.

Defisit APBN ini berarti pendapatan lebih kecil dibanding jumlah pengeluaran pemerintah. Meski begitu, dari sisi keseimbangan primer tercatat masih surplus Rp 48,1 triliun.

Lebih rinci dijelaskan, pendapatan negara sampai Februari 2025 terkumpul Rp 316,9 triliun atau 10,5% terhadap APBN. Pendapatan itu berasal dari pajak, bea cukai, serta penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Sementara itu, belanja negara mencapai Rp 348,1 triliun atau 9,6% terhadap APBN. Belanja negara ini terdiri dari belanja pemerintah pusat yakni belanja K/L dan belanja non K/L, serta transfer ke daerah.

“Belanja negara Rp 348,1 triliun atau terealisasi 9,6% dari total belanja yang akan dianggarkan tahun ini,” imbuhnya.

Penerimaan Pajak Anjlok 30,19%

Sri Mulyani mengumumkan penerimaan pajak terkumpul Rp 187,8 triliun sampai Februari 2025. Realisasi itu lebih rendah 30,19% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang terkumpul Rp 269,02 triliun.

“Penerimaan pajak Rp 187,8 triliun atau 8,6% dari target,” kata Sri Mulyani.

Sri Mulyani menilai penerimaan pajak yang mengalami penurunan itu tidak perlu didramatisir. Hal itu dapat menciptakan ketakutan yang dampaknya tidak bagus untuk ekonomi.

“Jadi saya mohon teman-teman tidak mendramatisir untuk menciptakan suatu ketakutan. Kayaknya itu memang laku tetapi tidak bagus untuk kita semua,” kata Sri Mulyani.

“Untuk ekonomi juga nggak bagus, untuk Anda semua sebagai media menurut saya juga nggak bagus karena kalau ekonomi nggak bagus, pasti akan kena juga,” tambahnya.

Sri Mulyani membeberkan terdapat dua faktor yang menyebabkan rendahnya penerimaan di awal tahun. Pertama, karena adanya penurunan harga komoditas andalan dari ekspor Indonesia.

“Penerimaan negara memang mengalami penurunan, tapi polanya sama dan dalam hal ini beberapa memang yang kita sampaikan tadi karena adanya koreksi harga-harga komoditas yang memberi kontribusi penting bagi perekonomian kita seperti batu bara, minyak dan nikel,” beber Sri Mulyani.

Penyebab kedua dikarenakan faktor administrasi. Hal itu dikarenakan adanya kebijakan baru yakni implementasi Tarif Efektif Rata-rata (TER) untuk PPh 21 dan ada kebijakan relaksasi pembayaran PPN dalam negeri selama 10 hari sehingga dapat dibayarkan hingga 10 Maret 2025.

“Untuk PPN deadline-nya dimundurkan dan TER kita lihat mempengaruhi PPh 21,” ucap Sri Mulyani.

Sri Mulyani meminta tidak perlu berlebihan menyikapi kondisi ini. Pihaknya memastikan akan tetap waspada. “Yuk kita jaga sama-sama ya. Jadi merespons terhadap perlambatan, tentu tetap kita waspada tanpa menimbulkan suatu alarm,” imbuhnya.

(aid/hns)

Membagikan
Exit mobile version