Jakarta –
Kisruh penayangan visual menyerupai Dewa Siwa saat penampilan musik DJ di Atlas Super Club, Kuta Utara, Badung, berbuntut panjang. DPRD Badung mengusulkan agar Atlas dikenai sanksi pajak maksimum.
Usulan tersebut disampaikan anggota DPRD Badung I Nyoman Satria, Jumat (7/2/2025). Ia menyarankan pimpinan dewan merekomendasikan Bupati Badung untuk memberlakukan pajak sebesar 75 persen kepada manajemen Atlas sebagai efek jera.
“Karena itu saya usulkan agar Atlas ditetapkan pajaknya sebesar 75 persen, supaya kapok,” ujar Satria.
Dia juga meminta agar Atlas dikecualikan dari kebijakan keringanan Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) yang diterapkan Pemkab Badung.
Kebijakan Pajak Hiburan
Sejak 2024, Pemkab Badung telah memberikan keringanan pajak berupa diskon 25 persen dari tarif terendah dalam ketentuan PBJT. Insentif ini diatur dalam Pasal 101 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD).
“Seperti kita ketahui, pajak hiburan itu diberikan dispensasi. Artinya dikurangi 15-25 persen,” kata anggota Komisi III DPRD Badung itu.
Saat ini, usaha jasa hiburan termasuk Atlas Beach Club hanya dikenakan tarif PBJT sebesar 15 persen. Padahal, dalam ketentuan pajak khusus untuk diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa, tarif PBJT ditetapkan paling rendah 40 persen hingga 75 persen.
Meski begitu, Satria menyarankan agar sanksi diberlakukan selama satu tahun hingga akhir 2025, sembari melihat perkembangan.
“Diharapkan biar tobat sampai akhir Desember 2025. Kita berikan lagi nanti mereka disposisi untuk dispensasi (diskon) dari 75 persen ke 15-25 persen. Ini penting karena kita menerapkan Pasal 58 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah,” tegasnya.
Pembentukan Tim Kajian
Ketua DPRD Badung I Gusti Anom Gumanti menegaskan pihaknya akan melakukan pembahasan lebih lanjut. Ia mengakui ada usulan untuk membentuk tim khusus guna mendalami kisruh ini.
“Tetapi kami konsultasi dengan bagian hukum. Tim ini dasar hukumnya apa? Tim apa namanya, supaya kami punya legalitas. Kalau pembahasan Perda namanya pansus. Kalau masalah ini, ini tim apa namanya. Kami diskusi dulu. Kami nggak mau tergesa-gesa,” ujar Anom.
“Ini masalah pemerintahan. Kami fokus urusan itu. Kalau urusan hukumnya, yang menentukan apakah itu penistaan, pelecehan dan sebagainya itu di PHDI. Karena itu lembaga yang kita hormati untuk urusan itu,” pungkasnya.
Artikel ini telah tayang di detikbali
(sym/sym)