Minggu, Oktober 6


Jakarta

Kementerian BUMN yang ada saat ini merupakan buah transformasi dari unit kerja eselon II Departemen Keuangan (1973-1993) yang kemudian menjadi unit kerja eselon I (1993-1998). Tahun 1998-2000 dan tahun 2001 sampai sekarang, unit kerja tersebut menjadi Kementerian BUMN

Orang pertama yang menjadi Menteri BUMN adalah Tanri Abeng. Dalam catatan detikcom 10 September 2014 lalu, pria kelahiran Selayar, Sulawesi Selatan, 7 Maret 1942 itu bercerita panjang lebar mengenai penunjukannya sebagai Menteri BUMN.

Tanri bercerita, pada tahun 1998 Indonesia mengalami krisis. Presiden Soeharto kala itu pun menandatangani utang dengan IMF sebesar US$ 42 miliar.


“Pada 15 Januari 1998 krisis kan, lalu Pak Harto (Alm, mantan Presiden RI Soeharto) menandatangani utang dengan IMF US$ 42 miliar. Sesudah menandatangani utang itu, Pak Harto membuat pernyataan di televisi bahwa masyarakat tidak perlu khawatir dengan utang. Karena kita masih punya banyak BUMN,” ujarnya.

Menurut Tanri, perhitungan Soeharto waktu itu, dengan 158 BUMN kalau dikelola dengan baik nanti nilainya bisa naik. Negara pun bisa menjual sebagian untuk bayar utang. Tapi sayangnya, Soeharto tidak mengerti bagaimana caranya menaikkan nilai BUMN.

“Lalu kan saya waktu itu presiden direktur di Bakrie (Grup Bakrie), lalu Presiden Komisaris di PT Multi Bintang dan BAT. Pak Harto melihat saya punya pengalaman mengelola korporasi yang panjang. Bagaimana caranya beliau menemukan saya, saya tidak tahu. Singkat cerita, Pak Harto minta saya datang ke Bina Graha,” katanya.

Waktu itu bukan hal yang biasa orang sebagai pribadi bisa datang ke Bina Graha. Tanri merasa terhormat bisa datang ke sana dan dapat penjelasan dari Presiden RI ke-2 itu.

“Saya ini baru menandatangani nota kesepakatan dengan IMF. Di situ memang ada utang. Tapi saya kan punya 158 BUMN. Tapi 158 BUMN ini kebanyakan tidak sehat,” kata Tanri menirukan ucapan Soeharto.

Soeharto pun bertanya apa yang harus dilakukan untuk menyehatkan BUMN-BUMN kepada Tanri. Tanri menjawab, Indonesia harus meningkatkan nilai BUMN ini, dan kalau nilainya sudah tinggi, sebagian bisa dijual.

Tiga hari sebelum pengumuman Kabinet Pembangunan VII, Tanri diminta bertemu lagi dengan The Smiling General itu.

“Pak Tanri Abeng, saya minta Saudara bantu saya di Kabinet Pembangunan VII yang saya umumkan 3 hari lagi, untuk mengurus BUMN,” kata Tanri menirukan Soeharto.

Tanri pun merasa kaget karena sang presiden tidak menjelaskan secara detil tugas pokoknya nanti dalam mengurus BUMN. Karena tidak punya pilihan, Tanri pun mengangguk setuju.

“Walaupun saya juga nggak ngerti itu mau dijadikan apa. Tapi dia bilang di kabinet urus BUMN, logikanya menteri kan. Tapi saya ya menerima apa adanya saja, toh saya ini tidak berambisi sebenarnya,” jelasnya.

Tanri pun mulai mencari bala bantuan demi tugas barunya ini, beberapa kawan lama ia hubungi demi memperdalam ilmu birokrasi.

“Sebelum diumumkan saya sudah cari bantuan dari teman-teman yang biasa di birokrasi di antaranya Pak Marzuki Usman yang waktu itu menjabat sebagai Dirjen di Kementerian Keuangan. Saya tanya bagaimana sih birokrasi, dia bilang akan bantu. Akhirnya dia jadi sekretaris saya,” imbuhnya.

Tiga hari kemudian, muncullah pengumuman yang dinanti-nanti. Muncul sebuah kementerian baru bernama Kementerian Negara Pendayagunaan BUMN. Disebutkan pula nama menterinya, yaitu Tanri Abeng.

“Saya kan di rumah lagi nonton televisi, apa betul mau diumumkan jadi menteri. Ternyata betul. Jadi lah saya menteri,” katanya.

Dalam benak Soeharto waktu itu adalah tugas Menteri BUMN adalah harus berperan menyehatkan BUMN, membuat nilainya makin menguntungkan dan tinggi.

“Lalu nanti saat nilainya tinggi, saya jual sebagian untuk bayar utang,” ujar Tanri menirukan ucapan Soeharto.

Kini, Menteri BUMN pertama itu tutup usia. Ia meninggal dunia pada dini hari tadi.

(acd/das)

Membagikan
Exit mobile version