Sabtu, Oktober 5


Jakarta

Layang-layang identik sebagai mainan anak-anak. Tetapi, ternyata di balik sebuah layang-layang terdapat konsep spiritual dan tradisi yang melekat.

Dosen Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung sekaligus pegiat permainan tradisional, Zaini Alif, menjelaskan bahwa layang-layang merupakan sebuah media spiritual sejak zaman dahulu kala. Penemuan lukisan pada batu di gua di wilayah Muna, Sulawesi Tenggara merupakan sebuah ritual untuk menghantarkan roh seseorang yang meninggal menuju langit.

“Sebagai ritual spiritualitas jadi bagaimana layang-layang itu sebagai media menghantarkan orang yang sudah meninggal itu ke atas, diantar menggunakan layang-layang itu. Jadi seseorang yang sudah meninggal rohnya itu perlu guide (pemandu) untuk dia sampai ke atas, nah layang-layang itu sebagai penghantar guideline dia untuk mengantar roh ke-Nya. melalui layang-layang itu dari konsep ritual,” kata Zaini saat dihubungi detikTravel, Kamis (4/7/2024).


Bukan hanya itu, ia menambahkan, jika sebetulnya layang-layang sebagai permainan itu adalah perkembangan ke masa kini. Jika menarik ingatan ke belakang dari informasi yang didapatnya, menerbangkan layang-layang merupakan sebuah pekerjaan yang dilakukan oleh anak-anak. Ya, pekerjaan.

Jadi jika orang dewasa memiliki pekerjaan selayaknya saat ini, anak-anak pun melakukan pekerjaannya dengan yang kita kenal sekarang, yakni bermain. Layang-layang juga dipakai sebagai media pembelajaran anak untuk mengenal serta mempelajari tentang angina.

“Nah permainan yang ada pada gambar di gua layang-layang itu memang bukan menjadi atau bukan bagian dari permainan, jadi permainan itu kalau pada waktu saya baca naskah Siksa Kandang Karesian bahwa itu sebuah pekerjaan saja,” kata Zaini.

“Bermain itu mungkin bisa dikatakan tidak ada karena yang kita sebut permainan itu adalah semua pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan, nah itu dibuktikan dari hasil penelitian saya bahwa ketika saya meneliti di Baduy itu mereka tidak menyebut itu permainan tapi menyebutnya pagawean barudak (pekerjaan anak-anak),” ujar dia.

“Jadi usia dewasa mereka punya pekerjaan dan anak-anak juga punya pekerjaan, yang pekerjaannya itu menyerupai konteks bermain seperti saat ini tapi mereka nggak pernah menyebut kata bermain. Termasuk di layang-layang ini juga pada waktu itu bukan sebuah permainan tapi alat, media orang tua dan dewasa untuk bagaimana ketika anak kecil dia mengenal angina sebagai bagian dari konsep penyuburan tanah dan sebagainnya,” Zaini menambahkan.

Dari pembelajaran terhadap muncullah yang disebut dengan syukur angin, di mana anak-anak menjilat jarinya untuk menentukan arah angin dan menerbangkan layang-layang. Menurut Zaini itu merupakan wujud dari sebuah pembelajaran dari masa lalu, kemudian di Kerajaan Batu Sangkar ungkap dalam prosesi pemilihan raja juga menggunakan media layang-layang.

Nantinya dilihat dari bagaimana calon raja tersebut menerbangkan layang-layang, menjaga keseimbangan hingga mengerti arah angin.

“Bahkan ketika di Kerajaan Batu Sangkar saya baca dalam beberapa penelitian mengatakan bahwa ketika menentukan raja di Kerajaan Batu Sangkar tuh ditentukan salah satunya dengan layang-layang. Jadi bagaimana dia menerbangkan, nah konteks itu pembelajaran untuk bagaimana dia bersinergi dengan masyarakat, alam, penguasa, dan sebagainya,” kata dia.

“Apakah ketika layang-layang terbang dia mampu mengendalikan, mengikuti arah angin, kemudian respek terhadap perubahan angin gitu, banyak hal yang kemudian konteks itu menjadi bagian dari penentuan raja,” ujar Zaini.

Mewujudkan Sesuatu yang Tidak Ada Menjadi Ada

Layang-layang yang diterbangkan bukan sekadar untuk permainan. Layang-layang yang berada di udara, dikendalikan dengan seutas benang, menunjukkan fakta bahwa angin merupakan sebuah anugerah yang bisa dibuktikan. Melalui angin pula masyarakat zaman dulu mampu menentukan kapan mereka untuk bercocok tanam.

Selain menerbangkan layang-layang sebagai pembuktian keberadaan angin, layang-layang juga sebagai ucapan syukur mereka kepada Sang Maha Kuasa dari adanya upacara syukur angin.

“Layang-layang adalah bagian dari prosesi itu, prosesi bagaimana angin menjadi bagian dari masyarakat kita yang agraris. Angin itu sebagai media penyerbukan yang membantu para petani (tanamannya) subur, angin itu memberikan kontribusi terhadap dia, bagaimana angin barat-angin timur yang menentukan hujan dan kapan dia harus menanam padi, kapan dia harus mengurus dan mengolah, dan sebagainya. Maka muncullah upacara-upacara syukur angin itu,” ujar Zaini.

Bukan hanya layang-layang, upacara syukur angin di beberapa daerah juga disimbolisasikan melalui kolecer (Sunda), kindekan (Bali), dan cipiran (Jawa). Zaini menyebut layang-layang dan alat lainnya itu merupakan aspek spiritual menuju sesuatu yang tidak ada menjadi ada.

“Dalam proses pembelajaran pada waktu itu dia akan mewujudkan sesuatu yang tidak ada menjadi ada, cipiran dia menangkap angin dan angin itu memutarkan cipiran dan bersuara. Maka kemudian suara itulah yang membuktikan wujud dari angin tersebut ada dan hadir,” kata Zaini.

(fem/fem)

Membagikan
Exit mobile version