Jakarta –
Kraton merupakan formasi geologi yang menarik sekaligus misterius. Dikenal sebagai bagian yang relatif stabil dari kerak benua Bumi, kraton sebagian besar tetap tidak berubah selama miliaran tahun. Meskipun telah bertahan dari banyak peristiwa geologi, beberapa kraton mengalami dekratonisasi, yakni proses yang ditandai dengan deformasi dan kehancurannya.
Misalnya, North China Carton (NCC) atau Kraton China Utara. Blok kerak benua purba ini diketahui telah mengalami dekratonisasi ekstensif selama era Mesozoikum, sebagian besar disebabkan oleh modifikasi tektonik dan geokimia serta ketidakstabilan dasar.
Namun, menjelaskan mekanisme di balik transformasi geologis yang kompleks ini terbukti sulit dengan teknik yang ada dan pemahaman saat ini.
Dalam studi terbaru yang diterbitkan di Nature Geoscience, tim peneliti yang dipimpin oleh Profesor Shaofeng Liu dari China University of Geosciences berhasil mengatasi kesenjangan pengetahuan ini dengan mengembangkan model komputasi yang didukung oleh data geologi, geofisika, dan geokimia empiris yang luas, yang menjelaskan deformasi NCC yang membingungkan.
Secara khusus, model yang dikembangkan berfokus pada subduksi lempeng Izanagi di bawah lempeng Eurasia, tempat NCC berada, sebagai alasan yang mendasari dekratonisasi yang diamati.
Para peneliti membandingkan beberapa kemungkinan geometri lempeng yang tersubduksi menggunakan bukti kegempaan dan stratigrafi cekungan untuk mempersempit rekonstruksi potensial. Akhirnya, menggunakan model aliran mantel geodinamik, mereka mensimulasikan tingkat penuh proses subduksi dan memvalidasi prediksi secara empiris.
Analisis mereka menjelaskan dekratonisasi NCC dalam tiga fase. Pertama, lempeng Izanagi mengalami subduksi awal dan meluncur di bawah lempeng Eurasia. Namun, alih-alih bergerak turun, lempeng Izanagi menjadi datar dan mulai bergerak sejajar dengan lempeng Eurasia, dalam proses yang disebut subduksi lempeng datar.
Cairan dari lempeng yang tersubduksi mengubah NCC di atas, yang memicu kehancurannya. Selain itu, gaya tekan menyebabkan deformasi lain, seperti dorongan, penebalan kraton, dan pengangkatan permukaan.
Menariknya, kemudian terjadi proses rollback, yang mengakibatkan lempeng yang tersubduksi menjadi lebih curam lagi dan bergerak lebih dalam di bawah lempeng Eurasia, mencapai antarmuka mantel atas-bawah dan mengalami subduksi horizontal ke zona transisi mantel.
Rollback ini menyebabkan deformasi ekstensional, yang mengakibatkan penipisan litosfer dan pembentukan cekungan retakan dengan topografi permukaan yang rendah pada kraton.
Selain itu, kawasan luas material mantel atas, dikenal sebagai ‘irisan mantel besar’, terbentuk di antara lempeng yang bergerak maju dan kraton, mengakibatkan konveksi yang dapat menyebabkan metasomatisme hebat dan pencairan parsial bersamaan dengan pemanasan dan erosi di dasar subkraton serta magmatisme.
“Kami berhasil mengembangkan model aliran mantel baru yang menggabungkan lempeng datar dan subduksi rollback, yang selaras dengan evolusi geologi permukaan dan struktur lempeng mantel masa kini,” kata Prof. Liu berkata dikutip dari Phys.org.
“Menariknya, model kami yang tervalidasi dapat secara efektif menggambarkan dinamika ruang-waktu dan respons topografi subduksi lempeng mantel dari waktu ke waktu,” sambungnya.
Mengingat kraton mengandung endapan mineral dan unsur tanah jarang yang sangat bernilai bagi aplikasi teknologi, memahami siklus hidup kraton penting dari sudut pandang akademis dan praktis.
Berdasarkan wawasan ini, penyelidikan lebih lanjut terhadap sejarah geologi planet kita diharapkan akan membawa kita pada pemahaman yang lebih mendalam tentang proses geologi seperti dekratonisasi, yang mengungkap jalan menuju masa depan yang lebih berkelanjutan.
(rns/rns)