Senin, Februari 3
Jakarta

Matahari tak terlihat redup siang itu, namun gerimis yang semula hanya berupa rinai justru makin menebalkan jarum airnya.

Jembatan Kahyangan yang membentang mengitari kepundan Kawah Sikidang terlihat basah di antara kepulan uap putih pekat yang terus menguar.

Banyak pengunjung yang kemudian menepi, berkerumun pada beberapa gazebo yang tersedia di sepanjang jembatan dengan atap peneduh dan bangku kayu panjang, aman dari siraman hujan.


Namun saya memilih menerobos hujan, berbekal mantel hujan tipis untuk menyusuri Jembatan Kahyangan yang membentang sepanjang 1.150 meter mengitari Kawah Sikidang.

Guyuran hujan justru telah mengusir aroma belerang yang biasanya menguar terlalu kuat sehingga siang itu Kawah Sikidang menjadi lebih bersahabat.

Selama tidak melawan arah angin, kepulan asap belerang tidak akan mengganggu pernafasan.

Mengapa kawah terbesar di dataran tinggi Dieng itu dinamakan Kawah Sikidang? Ternyata ada ceritanya.

Nama Sikidang diambil dari kata Kidang yang dalam bahasa Jawa berarti Kijang, karena kepundan kawahnya sering berpindah-pindah alias melompat-lompat seperti Kijang.

Rata-rata dalam empat tahun sekali, kepundan kawah utama di tempat ini berpindah tempat. Hal ini membuat kawasan seluas sekitar 4 hektare ini memiliki beberapa kawah kecil di sekitar kawah utamanya.

Versi lain asal mula nama Sikidang berasal dari legenda terbentuknya kawah yang konon berasal dari sumur yang digali dengan tangan sendiri oleh Pangeran Kidang demi memenuhi keinginan Shinta Dewi.

Sang putri yang sebenarnya enggan dipinang, kemudian meminta masyarakat menimbun sumur yang tengah digali itu, dengan Pangeran Kidang masih berada di dalamnya.

Letupan kawah itulah amarah Pangeran Kidang yang tidak bisa keluar dari sumur.

Terlepas dari legenda yang entah mengapa seringkali mengisahkan tragedi cinta yang tak terbalas, faktanya Dataran Tinggi Dieng merupakan kawasan gunung purba yang meletus beribu-ribu tahun yang lalu.

Letusan itu membuat Kawah Sikidang terbentuk di tanah datar, dengan lumpur panas meletup-letup dan uap berwarna putih pekat yang bisa disaksikan dari dekat.

Berbeda dengan kawah-kawah lain yang pada umumnya terletak di puncak gunung, lokasi Kawah Sikidang relatif lebih mudah diakses.

Ditinjau dari sisi geologi, Kawah Sikidang tergolong muda dengan Letusan Freatik terakhir terjadi pada tahun 1981. Letusan Freatik adalah jenis letusan yang membuat gunung memuntahkan material debu vulkanik.

Selain karena lokasinya yang berdekatan dengan Kompleks Candi Arjuna, menurut saya Kawah Sikidang wajib dikunjungi karena merupakan destinasi wisata yang unik, dengan tanah tandus keputihan di sekelilingnya yang justru membuat kawasan ini terlihat eksotik.

Difusi gas belerang dari Kawah Sikidang ke arah horisontal rupanya telah membuat vegetasi di sekitarnya mengering terkena kandungan sulfur.

Indah tapi mematikan? Lokasi Kawah Sikidang terletak di Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara. Hanya berjarak sekitar 2,6 km dari titik 0 kilometer Dieng.

Saya mengunjungi Kawah Sikidang bersama rombongan Aamai (Asosiasi Ahli Manajemen Asuransi Indonesia) dengan iring-iringan mobil jeep terbuka yang banyak tersedia di sekitar lokasi wisata.

Jenis kendaraan ini memang paling pas digunakan di kawasan berhawa sejuk sehingga hembusan angin yang membelai wajah bisa dirasakan sepanjang perjalanan sambil menikmati hijaunya alam pegunungan.

Membagikan
Exit mobile version