Selasa, Januari 14

Jakarta

Pandemi COVID-19 sampai terbaru Human metapneumovirus (HMVP) merebak di China. Hal ini membuat beberapa orang penasaran mengapa ada beberapa penyakit yang kesannya selalu bermulai dari China.

Pada Februari 2020, ahli saraf sekaligus profesor di Yale University School of Medicine berpendapat pada sebuah episode podcast ‘Skeptics’ Guide to the Universe’. Dia menyebut beberapa faktor yang menyebabkan sebuah penyakit datang dari Tiongkok, misalnya COVID-19.

“Bukan misteri besar mengapa ini terjadi… banyak populasi yang terkonsentrasi, dengan kontak dekat dengan banyak spesies hewan yang berpotensi menjadi reservoir, dan mereka tidak memiliki persyaratan kebersihan yang baik. Ini adalah resep untuk menyebarkan virus jenis ini,” katanya, dikutip detikINET dari Real Clear Science.


Lebih lanjut, selatan China Pusat dikenal sebagai ‘wadah pencampuran’ virus menurut Dr Peter Daszak, Presiden EcoHealth Alliance. Ada banyak peternakan, khususnya unggas dan babi, dengan sanitasi terbatas dan pengawasan yang longgar.

Para petani sering membawa ternak mereka ke pasar becek di mana mereka dapat bersentuhan dengan semua jenis hewan eksotis. Berbagai burung, mamalia, dan reptil menjadi inang virus yang dapat berpindah spesies dan bermutasi dengan cepat, bahkan berpotensi menginfeksi manusia. Para ahli cukup yakin bahwa inilah yang terjadi dengan virus COVID-19.

Ada juga alasan lain mengapa China menjadi tuan rumah bagi wabah besar. Faktor itu ialah dari sisi budaya.

“Banyak orang China, bahkan penduduk kota, bersikeras bahwa unggas yang baru disembelih lebih enak dan lebih sehat daripada daging yang didinginkan atau dibekukan,” tulis jurnalis Melinda Liu untuk Smithsonian pada tahun 2017.

“Selera masyarakat terhadap daging yang baru disembelih, dan kondisi di pasar hewan, menciptakan banyak peluang bagi manusia untuk bersentuhan dengan mutasi baru ini,” lanjutnya.

Selain itu, ketika terserang penyakit, banyak orang China yang pertama kali langsung mencari pengobatan tradisional, di mana praktisi sering salah mendiagnosis gejala. Pada akhirnya, mereka ditawarkan akupunktur atau pengobatan herbal/berbasis hewan yang tidak efektif sebagai pengobatan. Hal ini secara drastis meningkatkan angka kematian selama wabah dan memungkinkan orang yang terinfeksi untuk kembali ke masyarakat di mana mereka dapat menginfeksi lebih banyak orang.

HMPV adalah virus yang menyerang sistem pernapasan atas, namun kadang bisa menyebabkan infeksi pernapasan bawah. HMPV umum terjadi di musim dingin dan musim semi. Chinese Center for Disease Control and Prevention (CCDCP), Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit China mengatakan, HMPV ikut berkontribusi dalam infeksi pernapasan di saat musim dingin kali ini. Mereka telah menetapkan protokol untuk pelaporan laboratorium dan verifikasi kasus tersebut.

Perlu dicatat, HMPV bukan virus atau varian baru. Ini sudah ada sejak puluhan tahun lalu.

Untuk di Indonesia, Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, Widyawati, menyatakan sejauh ini belum ditemukan infeksi virus seperti di China. Mengutip data World Health Organization (WHO), Widyawati menekankan lonjakan kasus influenza maupun HMPV hanya menyebar di China.

Kasus influenza tipe A untuk varian H5N1 pernah terjadi di Indonesia, pada 2005 hingga 2017. Namun sejak 2018 belum ada kasus baru pada manusia.

“Untuk varian H5N6 dan H9N2 dilaporkan terjadi beberapa kasus di Tiongkok tapi belum kedua varian tersebut pernah dilaporkan di Indonesia,” jelas Widyawati dalam keterangan resminya beberapa waktu lalu.

(ask/afr)

Membagikan
Exit mobile version