Selasa, Januari 7


Jakarta

Alif Rizki Ramadhan, seorang barista penyandang disabilitas tunarungu juga tuna wicara yang berusia 25 tahun, menjadi inspirasi banyak orang melalui perjalanan kariernya di dunia kopi. Dia membuktikan disabilitas bukan halangan untuk sukses.

Dia mulai belajar meracik kopi sejak usia 19 tahun. Kini, dia berpengalaman hampir tujuh tahun di profesi itu.

Di awal memulai karir itu, dia mengusung motivasi sederhana namun penuh makna. Alif bertekad untuk membuktikan bahwa penyandang disabilitas juga mampu menjadi barista handal.


Setelah itu, Alif memulai dengan mengikuti pelatihan singkat selama satu minggu yang diadakan oleh dinas sosial. Awalnya, dia mengikuti pelatihan ditawari oleh temannya yang bernama Rama, seorang tunarungu yang juga ahli meracik kopi.

Selama satu minggu, Alif belajar teknik dasar pembuatan kopi dengan menggunakan bahasa isyarat.

“Rame banget belajar bikin kopi sambil bahasa isyarat. Seru, enak, dan mantap!” ujar Alif saat berbincang dengan detikTravel, Sabtu (14/12/2024).

Kini, Alif bekerja di Difabis Coffee & Tea, sebuah kafe yang memberdayakan penyandang disabilitas, di Dukuh Atas, Menteng, Jakarta Pusat.

Menurut Jihan, PIC (Person in Charge) Difabis Coffee & Tea, semua barista di sana telah memiliki sertifikasi barista yang diadakan oleh PPKD (Pusat Pelatihan Kerja Daerah).

“Mereka sudah sangat lihai dalam membuat kopi dan menguasai peralatan dengan baik,” kata Jihan.

Meski memiliki keterbatasan, Alif menghadapi tantangan dalam pekerjaannya dengan semangat. Salah satu tantangan utamanya adalah membuat coffee art.

“Banyak yang suka coffee art, dan awalnya saya merasa sulit. Tapi karena banyak yang suka, saya jadi senang membuatnya,” kata Alif.

Selain bekerja sebagai barista, Alif juga tengah menempuh pendidikan di jurusan Sistem Informatika di sebuah universitas swasta. Ia membagi waktunya antara kuliah dan bekerja, membuktikan bahwa disabilitas bukan halangan untuk terus berkembang.

Café Difabis memang memiliki misi inklusif yang kuat. Tidak hanya memberdayakan penyandang disabilitas seperti Alif, kafe ini juga didesain ramah bagi pengunjung dengan berbagai kebutuhan khusus.

“Kami memiliki fasilitas untuk teman tuli, tunanetra, dan pengguna kursi roda. Ada penanda khusus dan juga kertas untuk pengunjung yang belum bisa bahasa isyarat,” kata Jihan.

Lebih dari sekadar menyajikan kopi, Difabis Coffee & Tea mengajak pengunjung untuk belajar bahasa isyarat. Pengunjung diajak berinteraksi dengan barista menggunakan isyarat sederhana, menciptakan pengalaman unik sekaligus edukatif.

“Kami ingin pengunjung merasa nyaman dan lebih memahami komunitas disabilitas,” kata Jihan.

Melalui komunitas disabilitas, difabis coffee & tea berhasil menemukan bakat-bakat seperti Alif. Keterlibatan komunitas ini tidak hanya memberikan kesempatan kerja, tetapi juga membangun rasa percaya diri bagi mereka yang bergabung.

Ke depan, Alif berharap penjualan Difabis Coffee & Tea terus meningkat. Baginya, menjadi barista bukan hanya pekerjaan, tetapi juga sarana untuk menginspirasi dan menyampaikan pesan bahwa semua orang, tanpa memandang latar belakang atau keterbatasan, memiliki potensi untuk sukses.

(fem/fem)

Membagikan
Exit mobile version