Minggu, September 22

Jakarta

Bumi kemungkinan memiliki sistem cincin seperti Saturnus 466 juta tahun lalu, setelah ia menangkap dan menghancurkan asteroid yang lewat, menurut sebuah studi baru.

Cincin puing, yang kemungkinan bertahan selama puluhan juta tahun, mungkin telah menyebabkan pendinginan global dan bahkan berkontribusi terhadap periode terdingin di Bumi dalam 500 juta tahun terakhir.

Demikian menurut analisis terbaru dari 21 lokasi kawah di seluruh dunia yang diduga semuanya terbentuk oleh serpihan yang jatuh dari asteroid besar antara 488 juta hingga 443 juta tahun yang lalu. Periode ini adalah suatu era dalam sejarah Bumi yang dikenal sebagai Ordovisium, ketika planet kita mengalami peningkatan tabrakan asteroid secara dramatis.


Tim penelitian yang dipimpin Andy Tomkins, profesor ilmu planet di Monash University di Australia, menggunakan model komputer untuk memetakan bagaimana lempeng tektonik planet kita bergerak di masa lalu untuk memetakan lokasi kawah saat pertama kali terbentuk lebih dari 400 juta tahun yang lalu.

Para peneliti menemukan bahwa semua kawah terbentuk di benua yang mengapung dalam jarak 30 derajat dari ekuator, yang menunjukkan bahwa kawah tersebut terbentuk oleh puing-puing jatuh dari satu asteroid besar yang pecah setelah hampir menabrak Bumi.

“Dalam keadaan normal, asteroid yang menghantam Bumi dapat menghantam di lintang mana pun, secara acak, seperti yang kita lihat di kawah-kawah di Bulan, Mars, dan Merkurius,” tulis Tomkins seperti dikutip dari The Conversation.

“Jadi sangat tidak mungkin bahwa ke-21 kawah dari periode ini akan terbentuk di dekat ekuator jika tidak saling berhubungan,” ujarnya.

Rangkaian lokasi kawah yang semuanya berada di sekitar ekuator sesuai dengan cincin puing yang mengorbit Bumi, kata para ilmuwan. Itu karena cincin seperti itu biasanya terbentuk di atas ekuator planet, seperti yang terjadi pada cincin yang mengitari Saturnus, Jupiter, Uranus, dan Neptunus.

Temuan studi baru itu menyebutkan, peluang bahwa lokasi tumbukan ini terbentuk oleh hantaman asteroid acak yang tidak terkait adalah sekitar 1 berbanding 25 juta.

Para peneliti memperkirakan bahwa asteroid yang membentuk cincin itu akan memiliki lebar sekitar 12,5 km jika berupa tumpukan puing, atau sedikit lebih kecil jika berupa benda padat.

Begitu hancur setelah mendekati Bumi, kata Tomkins, pecahan-pecahannya berdesakan sebelum mengendap menjadi cincin puing yang mengorbit ekuator Bumi.

“Selama jutaan tahun, material dari cincin ini secara bertahap jatuh ke Bumi, menciptakan lonjakan dampak meteorit yang diamati dalam catatan geologi. Kami juga melihat bahwa lapisan batuan sedimen dari periode ini mengandung puing meteorit dalam jumlah yang luar biasa,” Tomkins menambahkan.

Tim menemukan bahwa serpihan ini, yang merupakan jenis meteorit tertentu dan ditemukan berlimpah di endapan batu kapur di seluruh Eropa, Rusia, dan China, telah terpapar radiasi ruang angkasa yang jauh lebih sedikit daripada meteorit yang jatuh saat ini.

Endapan tersebut juga mengungkap tanda-tanda terjadinya beberapa tsunami selama periode Ordovisium, yang semuanya dapat dijelaskan dengan baik oleh skenario tabrakan dan pecahnya asteroid besar yang lewat.

“Studi baru ini merupakan ide baru dan kreatif yang menjelaskan beberapa pengamatan. Namun, data yang ada belum cukup untuk mengatakan bahwa Bumi memang memiliki cincin,” kata Birger Schmitz dari Lund University di Swedia.

Pencarian tanda-tanda umum pada butiran asteroid tertentu di seluruh kawah tumbukan yang baru dipelajari akan membantu menguji hipotesis tersebut, tambah Schmitz.

Menurut penelitian baru tersebut, jika Bumi memiliki cincin seperti Saturnus di sekitar ekuatornya, cincin tersebut akan memengaruhi iklim planet kita secara signifikan.

Hal ini karena sumbu Bumi miring relatif terhadap orbitnya mengelilingi Matahari. Cincin tersebut akan menghasilkan bayangan di bagian permukaan planet kita yang mungkin menyebabkan pendinginan global. Namun, rinciannya masih belum jelas.

Para peneliti berspekulasi bahwa peristiwa tersebut mungkin telah menyebabkan pendinginan dramatis planet kita 465 juta tahun yang lalu, yang menyebabkan periode terdingin dalam setengah miliar tahun terakhir, yang dikenal sebagai Zaman Es Hirnantian.

“Kami tidak tahu seperti apa cincin itu jika dilihat dari Bumi, atau seberapa banyak cahaya yang akan dipantulkannya, atau seberapa banyak puing yang harus ada di dalam cincin itu agar suhu di Bumi turun,” kata Tomkins.

Penelitian ini dijelaskan dalam makalah yang diterbitkan di jurnal Earth and Planetary Science Letters, Senin 16 September 2024.

(rns/fay)

Membagikan
Exit mobile version