Minggu, Juli 7


Jakarta

Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI tengah melakukan percepatan Net Zero Emission (NZE) 2060. Di samping itu, saat ini dunia juga dihadapi isu krisis tiga planet (triple planetary crisis) yang terdiri dari krisis iklim, polusi, dan keanekaragaman hayati. Salah satu pemicunya yaitu masalah sampah.

“Saat ini kita di seluruh dunia tengah menghadapi triple planetary crisis. Ada biodiversity loss, ada climate crisis, dan pencemaran,” kata Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Berbahaya dan Beracun (Dirjen PSLB3) KLHK Rosa Vivien Ratnawati, dalam acara ‘Updating Isu PSLB3 untuk Pemerintah Daerah dan Dunia Usaha’ di Gedung KLHK, Jakarta Pusat, Selasa (2/7/2024).

“Semuanya ini adalah risiko dari kita melakukan penggunaan sumber daya alam, kegiatan usaha, itu akan menghasilkan sampah,” sambungnya.


Dalam Kebijakan Strategi Nasional (Jakstranas) yang merupakan turunan dari Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017, KLHK menargetkan pengelolaan sampah sebanyak 100% pada 2025.

Rosa menyebut jumlah sampah per 2023 mencapai 69,9 juta ton dengan capaian kerja 66,28%. Artinya masih ada 33,72% atau sekitar 33,1 juta ton yang harus segera ditangani. Menurut Rosa, hal itu tidak mustahil mengingat saat ini teknologi sudah semakin maju.

“Peluang-peluang untuk bisa ikut melaksanakan pengurangan dan penanganan sampah 100% di tahun 2025 sangat terbuka. Teknologi itu macam-macam,” kata Rosa.

“Ada teknologi refuse derived fuel (RDF) yang sudah diterapkan di beberapa tempat, ada teknologi gasifikasi, ada teknologi termal dengan insinerator, dan sebagainya. Juga dengan organik, itu dengan maggot (cacing), ecoenzyme, dan sebagainya,” lanjutnya.

KLHK sendiri mengajak seluruh pihak, termasuk pemerintah daerah (pemda) dan pelaku industri untuk mengatasi permasalahan ini bersama-sama. Selain pengelolaan sampah, ia juga mengajak pihak-pihak terkait untuk menerapkan industrialisasi sampah melalui ekonomi sirkular.

“Jadi sampah itu bukan sesuatu yang sepele, tetapi dijadikan energi listrik, RDF, waste to fuel, pengelolaan sampah menjadi kompos dan pupuk, atau pengelolaan sampah menjadi pakanan ternak. Ini semua harus melibatkan pemerintah daerah dan dunia usaha,” kata Rosa.

Dalam kesempatan tersebut, Rosa juga membahas soal pengelolaan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Salah satu limbah B3 yang menjadi concern KLHK yaitu Polychlorinated Biphenyls (PCBs).

Bahan PCBs biasa dipakai untuk industri yang umumnya terdapat pada trafo dan kapasitor listrik, terutama pada minyak dielektrik (oli) yang terkandung di dalam kedua peralatan tersebut.

PCBs telah terbukti menyebabkan berbagai jenis kanker (karsinogenik), kerusakan syaraf, gangguan sistem pencernaan, memicu kemandulan dan ketidakseimbangan hormon.

“Oleh karena itu, saya mengajak Bapak Ibu sekalian untuk bisa mengelolanya,” kata Rosa.

Menurut Direktur Pemulihan Lahan Terkontaminasi dan Tanggap Darurat Limbah B3 dan Non B3 (PLTTDLB3) KLHK Haruki Agustina, limbah B3 harus memiliki mitigasinya tersendiri. Belajar dari kasus tumpahan minyak di Karawang beberapa waktu lalu, limbahnya tersebar hingga ke 7 kabupaten.

“Dalam konteks ini, maka penting program kedaruratan pengelolaan B3 skala wilayah,” pungkasnya.

(ncm/ega)

Membagikan
Exit mobile version