Jakarta –
Musim kawin bisa sangat berbahaya bagi katak jantan yang mencoba mengesankan calon pasangannya dengan suara yang memekakkan. Para peneliti menemukan bahwa mereka dapat dengan cepat diseret dan dimakan oleh katak betina yang tidak terkesan.
Tim ilmuwan di Pulau Kooragang di New South Wales, Australia telah mengamati jenis katak lonceng hijau dan emas (Litoria aurea) betina dewasa kerap memangsa katak jantan selama musim kawin. Mereka merinci temuan tersebut dalam sebuah studi yang diterbitkan pada tanggal 12 Juni di jurnal Ecology and Evolution.
Para peneliti pertama kali mengamati perilaku ini selama survei ketika mereka mendengar pekikan bernada tinggi dari katak jantan.
“Anda kadang-kadang mendengarnya di tempat-tempat seperti lapangan, dan itu sering kali merupakan suara dari katak yang dimangsa,” kata penulis utama studi John Gould, peneliti pascadoktoral dalam ekologi populasi di University of Newcastle, Australia, dikutip dari Live Science.
Setelah menelusuri bunyi itu, Gould menemukan suara-suara tersebut berasal dari katak jantan yang hampir seluruh pahanya ditelan oleh seekor betina yang lebih besar. Sang betina menyeretnya ke dalam sebuah lubang di tepi kolam.
“Katak jantan benar-benar berusaha melepaskan diri, ia akan berpegangan pada apa pun di sekitarnya, seperti ranting di tanah, agar tidak terseret. Beruntung dalam pengamatan ini sang jantan berhasil melarikan diri,” kata Gould.
Pengamatan tersebut mendorong Gould dan timnya untuk membandingkan pengamatan lapangan pada malam hari selama tiga musim kawin berturut-turut dengan penelitian lain yang melaporkan kejadian kanibalisme seksual.
Kanibalisme terdokumentasi dengan baik pada amfibi, tetapi sebagian besar kasus yang dilaporkan melibatkan amfibi dewasa yang memakan amfibi muda yang muncul dari air atau kecebong yang memakan satu sama lain.
Kanibalisme amfibi biasanya terjadi ketika sejumlah besar hewan berkumpul di area yang sama, seperti saat kecebong muncul dari telur, dan ketika ada perbedaan ukuran yang mencolok antara predator dan mangsa.
Banyak spesies katak yang dimorfik seksual, yakni terjadi perbedaan sistematis dalam bentuk antara individu dengan jenis kelamin berbeda dalam spesies yang sama. Dalam hal ini, katak betinanya seringkali jauh lebih besar daripada katak jantan.
“Ada peluang yang sangat bagus bahwa betina dapat mengeksploitasi pasangan jantannya, tidak hanya sebagai mitra pengembangbiakan, tetapi juga berpotensi sebagai mangsa,” kata Gould.
Para peneliti berspekulasi bahwa kanibalisme ini mungkin bertindak sebagai proses seleksi alam. Betina dapat membedakan antara calon pasangan atau mangsa tergantung pada kualitas suara mereka selama musim kawin.
Jantan yang lebih besar dengan suara yang lebih dalam dapat dilihat sebagai mitra kawin yang lebih baik, sehingga jantan yang lebih kecil dan kualitasnya lebih rendah dapat dianggap sebagai mangsa potensial.
Namun, Gould berpendapat bahwa pasangan yang lebih unggul mungkin juga tidak luput dari pemangsaan. Sebaliknya, setelah betina membuang semua telurnya setelah berkembang biak, mereka mungkin memilih untuk memakan pasangannya, mirip dengan perilaku belalang sembah betina yang memenggal kepala dan memakan pasangannya selama atau setelah kawin.
“Ini berisiko bagi katak jantan di luar sana. Mereka berusaha sekuat tenaga untuk mencari pasangan, tetapi mereka juga harus menanggung risiko tambahan, yaitu mungkin menjadi mangsa,” kata Gould.
Para ilmuwan masih belum tahu pasti apa yang memengaruhi perilaku kanibalisme ini. Pengamatan kanibalisme seksual jarang terjadi karena terjadi dengan cepat. Namun, ini mungkin tidak berarti bahwa hal itu jarang terjadi.
Gould menunjukkan bahwa pengamatan di lapangan terhadap amplexus, saat katak jantan menunggangi katak betina untuk membuahi telurnya, juga relatif jarang, meskipun para ilmuwan tahu hal itu diperlukan untuk perkembangbiakan.
Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan seberapa sering peristiwa kanibalisme ini terjadi dan bagaimana dampaknya terhadap populasi lokal katak lonceng hijau dan emas.
(rns/rns)