Selasa, Januari 14


Jakarta

Kampung miliarder di Tuban, julukan sebuah desa yang mendadak kaya karena mendapat uang dari pembebasan lahan. Dulu, satu orang warga bisa membeli dua sampai tiga mobil baru, kini berapa unit yang tersisa?

Kampung miliarder itu berlokasi di Desa Sumurgeneng, Tuban, Jawa Timur, pernah viral pada medio 2021. Masyarakat desa yang menerima uang pembebasan lahan memicu perubahan gaya hidup. Desa ini menjadi viral lantaran ratusan warga memborong mobil baru.

Tiga tahun lalu truk towing berbondong-bondong membawa Honda HR-V, Toyota Rush, Toyota Innova hingga Toyota Fortuner. Kala itu, Kepala Desa Sumurgeneng, Gianto mengatakan sudah ada ratusan warga yang membeli mobil dengan uang tersebut.


Waktu berlalu, warga yang punya mobil mayoritas masih menyimpan di garasi rumah. Persentase kepemilikan mencapai 90 persen dari yang sudah beli mobil.

“Kalau 90 persen ada, ya mereka yang masih punya mobil, meski ada yang sudah ganti. Ada pula memang yang dijual, tidak beli lagi ya ada. Tercatat, dulu itu ada 300 unit mobil baru dibeli warga Sumurgeneng,” jelas Gianto dikutip dari detikJatim.

Desa itu kembali menjadi sorotan usai beredarnya video warga Sumurgeneng berternak. Disebutkan, uang mereka habis, sedangkan mereka sudah tak bekerja lagi.

Gianto buka suara soal kondisi ini. Ia mengaku mengetahui beredarnya video tersebut. Menurutnya, warga menjual ternak adalah hal yang lumrah.

“Kalau jual ternak sudah biasa karena itu ternak untuk tambah kebutuhan ekonomi. Kalau belakangan banyak yang jual ternak itu juga tidak benar. Warga ini rata-rata petani jadi masih mengandalkan hasil panen untuk hidup,” tutur Gianto

Sekitar 280 orang warga Sumurgeneng yang dulu menerima ganti untung atas tanah yang dibeli Pertamina, masih bekerja sebagai petani.

Ia menyebut, hampir 65 hingga 70 persen masih punya aset berupa tanah dan sawah. Lahan itulah yang kemudian masih digarap warganya.

“Ya kalau aset tanah rata rata masih punya. Kalau 65 persen ada dari mereka yang punya hingga saat ini, lokasinya di luar kampung. Dan saat itu harga belinya juga sudah tinggi kalau dibanding dengan tanah mereka sebelumnya,” tutur Gianto.

(riar/riar)

Membagikan
Exit mobile version