Selasa, Desember 24


Jakarta

Pakar mewanti-wanti terkait transisi energi di Indonesia, termasuk dari sektor transportasi. Pemerintah memang gencar soal peralihan dari mobil bensin ke mobil listrik, namun sumber utama pembangkitnya juga perlu menjadi perhatian.

“Penelitian ERIA yang kami lakukan (di) lembaga saya bekerja, menunjukkan kalau energi bauran, energi pembangkit masih seperti sekarang, jadi 60 persen masih batu bara, lalu EBT masih di bawah 20 persen, itu walaupun penjualan mobil listrik kita bisa mencapai 100 persen pun, pengurangan (gas rumah kacanya) masih di bawah satu persen,” ujar Dr. Alloysius Joko Purwanto, Energy Economist dari Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA) saat berbincang bersama detikOto di Jakarta Selatan, beberapa waktu yang lalu.

Manfaat mobil listrik untuk menurunkan emisi semakin sulit dicapai jika pembangkit energi yang dipakai berasal dari energi kotor, seperti PLTU batu bara, yang sedang terjadi di Indonesia.


“Memang ada efeknya. Impor bensin berkurang, atau polusi udara di kota berkurang. Tapi CO2 secara total nyaris tidak efektif,” sambung Joko.

Mobil hybrid terbukti bisa menyedot perhatian masyarakat Indonesia. Tapi pakar mewanti-wanti jangan terlena lama-lama demi mengejar target NZE 2060.

Mobil hybrid itu bisa memangkas penggunaan konsumsi BBM. Emisi yang dikeluarkan juga lebih ramah lingkungan.

“Hybrid electric vehicles lebih optimum dari carbon dioxide yang dikeluarkan dan juga konsumsi bahan bakar. Jadi nilai ekonomisnya terbentuk,” kata Guru Besar Teknik Mesin Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Deendarlianto dalam kesempatan yang sama.

“Saran saya jangan sampai kita tidak punya target kapan berhentinya, kapan kita switch-nya. Karena jangan sampai transisi terus, akhirnya tidak pernah berubah,” jelas dia.

Kenapa emisi hybrid bisa lebih baik dari mobil listrik untuk saat ini?

Keunggulan mobil listrik bisa buat udara perkotaan yang bersih dari emisi gas buang. Namun sumber pembangkit listrik Indonesia mayoritas masih mengandalkan batu bara. Jika kondisinya demikian, mobil hybrid berfungsi untuk jadi transisi menuju kendaraan ramah lingkungan, meskipun di satu sisi hybrid juga sudah jauh lebih unggul dari mobil internal combustion engine.

“Kalau dari studi kami sendiri, pertama kami melihat HEV ini punya potensi yang besar untuk mengurangi gas rumah kaca dan konsumsi. Kalau bauran pembangkit listrik kita seperti saat ini (60 persen masih batu bara). HEV ini lebih bersih dibandingkan listrik yang full (battery). Itu lebih bersih,” jelas Joko.

“Karena istilahnya emisi yang dikeluarkan oleh kendaraan listrik itu terutama di pembangkit begitu besar.”

“HEV konsumsi bahan baker lebih efisien dibandingkan ICE. Itu potensinya besar untuk mengurangi GRK (Gas Rumah Kaca) dan konsumsi energi. Kalau kita 2040 sampai 2060 bauran kita (masih) 60 persen batu bara, EBT kita masih di bawah 20 persen, mendingan HEV saja daripada BEV. Hybrid saja daripada mobil listrik yang full EV,” kata Joko.

Joko menambahkan ekonomi Indonesia masih tergantung dengan pembangkit batu bara karena harganya paling murah.

“Masih menempatkan prioritaskan ekonomi di atas tujuan iklim,” kata Joko.

“Masih kurang mengubah tantangan itu menjadi peluang. Dampaknya apa? Salah satunya adalah penetrasi mobil listrik jadi kurang efisien dalam mengurangi gas emisi rumah kaca,” jelasnya lagi.

Pemerintah menargetkan produksi Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) pada tahun 2030 sebesar 600 ribu unit untuk roda empat atau lebih dan 2,45 juta unit untuk roda dua.

Dengan target tersebut diharapkan akan mampu mengurangi emisi CO2 sebesar 2,7 juta ton untuk roda empat dan lebih dan sebesar 1,1 juta ton untuk roda dua.

Indonesia memiliki potensi sumber Energi Baru dan Terbarukan (EBT) yang besar. Jumlahnya mencapai 3,6 terawatt (TW) yang sebagian besar berasal dari tenaga surya 3,3 TW.

Plt Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konversi Energi (Dirjen EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jisman Parada Hutajulu mengungkap jumlah EBT yang sudah dimanfaatkan Indonesia belum mencapai 1%.

“Indonesia memiliki sumber energi terbarukan yang melimpah lebih dari 3,6 TW, yang sebagian besar berasal dari energi matahari yaitu 3,3 TW namun baru dapat dimanfaatkan kurang dari 1%,” ucap Jisman di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta Pusat, Selasa (5/3/2024).

Bauran energi di Indonesia masih didominasi energi fosil yang berasal dari minyak, gas, dan batu bara. Padahal, pemerintah sudah menargetkan bauran EBT mencapai 23% pada 2025.

(riar/rgr)

Membagikan
Exit mobile version