Jumat, Desember 13


Jakarta

Kebijakan opsen yang bakal diterapkan tahun depan diprediksi bakal mengganggu penjualan otomotif di Indonesia. Menurut Asosiasi Industri Sepedamotor Indonesia (AISI), opsen pajak bisa membuat harga motor naik signifikan, sehingga berpotensi menurunkan daya beli masyarakat.

Menjelang akhir 2024, industri otomotif Tanah Air diliputi kekhawatiran karena akan diberlakukan opsen, atau pungutan tambahan pajak terhadap kendaraan bermotor baru mulai awal Januari tahun 2025. Pelaku industri roda dua pun melakukan simulasi dan membuat kalkulasi. Hasilnya, pasar sepeda motor tahun depan diperkirakan bakal terdampak, seperti pasar mobil, dengan tingkat penurunan hingga 20% akibat pemberlakuan opsen pajak ini.

Ketua Bidang Komersial Asosiasi Industri Sepedamotor Indonesia (AISI) Sigit Kumala mengatakan penurunan penjualan hingga 20% akan terjadi karena dipicu oleh naiknya
harga sepeda motor baru akibat berlakunya pungutan pajak tambahan atau opsen atas Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB)
yang besarnya mencapai 66%.


Dalam simulasi perhitungan asosiasi, akan timbul kenaikan harga sepeda motor baru sekitar Rp 800 ribu hingga Rp 2 juta, tergantung jenis motor. Kenaikan ini setara dengan kenaikan harga on the road sepeda motor baru sebesar 5%-7%, atau dua hingga tiga kali lebih besar dari inflasi. Kenaikan ini akan semakin membebankan konsumen.

“Konsumen sepeda motor sangat sensitif terhadap kenaikan harga. Opsen pajak bisa menaikkan harga motor di segmen entry level lebih dari Rp 800 ribu. Segmen mid high bisa naik hingga Rp 2 juta. Inilah yang akan menekan permintaan padahal sepeda motor ini alat transportasi produktif yang paling dibutuhkan masyarakat di tengah daya beli yang sedang melemah,” ujat Sigit dalam keterangan resmi yang diterima detikOto, Jumat (13/12/2024).

Sigit menambahkan, keberadaan sepeda motor sebagai sarana transportasi produktif dan efisien bagi masyarakat membuat penjualannya masih terus tumbuh, meskipun tipis
pertumbuhannya. AISI mencatat pada periode Januari hingga November tahun ini, pasar sepeda motor domestik membukukan angka penjualan sebesar 5,9 juta unit atau
tumbuh tipis 2,06% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Fungsi produktif sepeda motor yang menjanjikan efektivitas dan efisiensi bagi kegiatan sehari-hari masyarakat membuat asosiasi semula optimis pasar motor tahun depan bisa mencapai 6,4 juta unit hingga 6,7 juta unit.

“Namun karena faktor opsen pajak ini, kami khawatir pasar justru akan tertekan hingga 20% tahun depan,” kata Sigit khawatir.

Industri Pembiayaan dan Asuransi

Terkoreksinya penjualan di pasar domestik tentu akan menimbulkan dampak bergulir yang terjadi di sisi hulu maupun hilir dari industri sepeda motor di Tanah Air. Penurunan
permintaan dari pasar akan memaksa produsen sepeda motor memangkas produksinya, sehingga ini akan berdampak pada permintaan mereka ke industri suku cadang yang
berada di rantai bisnisnya. Jika dampaknya sangat besar, tidak tertutup kemungkinan akan timbul PHK di industri ini. Dampak bergulir ini juga sangat potensial terjadi di rantai
bisnis industri yang ada di sisi hilir, baik itu yang ada di sisi penjualan maupun layanan purnajual atau juga industri pembiayaan dan asuransi.

Kata Sigit, kondisi pasar yang memberatkan konsumen dan pelaku industri ini berpotensi menekan daya saing industri di kancah ekonomi global, terutama di kawasan ASEAN. Soalnya, dalam situasi persaingan yang sama, negara tetangga yang tercatat sebagai salah satu pasar otomotif yang sedang tumbuh di ASEAN, justru mempertahankan kebijakan pengurangan PPN dari 10% menjadi 8% hingga Juni 2025. Sementara itu, Indonesia menambahkan PPN menjadi 12% ditambah kenaikan PKB dan BBNKB dan pungutan tambahan pajak atau opsen.

“Jika ini semua diberlakukan dan dipertahankan dalam jangka panjang, kami khawatir daya saing industri kita melemah. Ini kurang positif untuk iklim investasi,” tegas Sigit.

(lua/din)

Membagikan
Exit mobile version