Selasa, Oktober 22


Jakarta

Pemerintah ingin mencapai net zero emission (NZE) atau emisi nol bersih tercapai 2060. Khusus di industri otomotif, ada beragam alternatif yang bisa dilakukan untuk menurunkan emisi secara signifikan. Apalagi Indonesia dinilai sudah gagal mencapai target bauran 2025.

“Kita melihat target emisi, ada salah satu hal yang perlu kita garis bawahi, kita sudah gagal mencapai target tahun depan 2025,” kata Dr. Alloysius Joko Purwanto, Energy Economist dari Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA) saat berbincang bersama detikOto di Jakarta Selatan, belum lama ini.

Sebelumnya dalam Peraturan Presiden No. 79 tahun 2014 menargetkan bauran energi baru dan terbarukan (EBT) di Indonesia mencapai 23 persen pada tahun 2025 mendatang. Namun Dewan Energi Nasional (DEN) mengungkapkan target bauran EBT pada 2025 direvisi menjadi sekitar 17 sampai 19 persen.


Dikutip dari situs Kementerian Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM) bauran EBT di dalam bauran energi nasional masih relatif lambat, diperkirakan hanya sekitar 13 sampai 14 persen pada tahun 2025.

Joko melanjutkan seberapa besar dampak penggunaan kendaraan listrik terhadap pengurangan emisi jika EBT di Indonesia masih di bawah 20 persen, meskipun sudah 100 persen memakai mobil listrik. Efek pengurangan terhadap C02 tidak berkurang signifikan.

“Penelitian ERIA yang kami lakukan (di) lembaga saya bekerja menunjukkan kalau energi bauran, energi pembangkit masih seperti sekarang, jadi 60 persen masih batu bara, lalu EBT masih di bawah 20 persen, itu walaupun penjualan mobil listrik kita bisa mencapai 100 persen pun, pengurangan (gas rumah kacanya) masih di bawah satu persen,” ujar dia.

“Memang ada efeknya. Impor bensin berkurang, atau polusi udara di kota berkurang. Tapi (penurunan) CO2 secara total nyaris tidak efektif,” kata Joko.

Deretan pabrikan mobil dari Jepang, Korea, China, Vietnam, hingga Eropa berlomba-lomba berbagai teknologi elektrifikasi, mulai dari hybrid, plug in hybrid hingga battery electric vehicles (BEV).

Hanya saja BEV menjadi teknologi yang didorong pemerintah lewat berbagai paket kebijakan insentif. Namun jumlah kendaraan listrik di Indonesia saat ini masih jauh dari target yang sudah dicanangkan. Transisi industri otomotif dari mobil konvensional langsung ke mobil listrik disebut masih menantang.

Secara spesifik soal target kuantitatif roadmap kendaraan listrik berbasis baterai sudah dimuat dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 28 Tahun 2023 yang membahas Spesifikasi, Peta Jalan Pengembangan, dan Ketentuan Penghitungan Nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai.

Dalam beleid tersebut produksi mobil listrik ditargetkan bisa tembus 400 ribu unit dan sepeda motor listrik 6 juta unit pada 2025. Produksinya meningkat pada tahun 2030, diharapkan bisa mencapai 600 ribu unit mobil listrik dan sembilan juta unit sepeda motor listrik. Tahun 2035, Indonesia diproyeksikan sudah memproduksi satu juta unit mobil listrik dan 12 juta unit sepeda motor listrik.

Di sisi lain, hukum ekonomi berupa permintaan dan penawaran tidak bisa dikesampingkan. Mobil listrik hanya satu dari berbagai inovasi teknologi energi terbarukan.

“Ya kalau riset-riset yang sudah kami lakukan, apalagi energy policy tahun 2019, dalam rangka mengejar target emisi di 2030 di sektor transportasi jawabannya ‘no single solution’. Tidak ada jawaban tunggal,” kata Guru Besar Teknik Mesin Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Deendarlianto dalam kesempatan yang sama.

Bioetanol, Biofuel dan Potensinya di Indonesia

Selain memasarkan mobil elektrifikasi, Pemerintah Indonesia perlu mendorong penggunaan bioetanol dan biofuel.

“Memang Brazil berhasil melaksanakan E100 namun kalau kita lihat sendiri konstruksi engine juga berbeda, pertanyaannya, ini bisa dilakukan industri manufaktur? saya yakin kalau pemerintah mendorong, industri manufaktur berjalan. Kalau aturan ditegakkan baik, market muncul, industri akan muncul ke sana,” kata dia.

Penggunaan BBM biofuel untuk solar dan bioetanol untuk bensin sejatinya mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil yang masih impor dan menekan emisi karbon yang dihasilkan dari proses pembuangan kendaraan.

Namun penggunaan biofuel dan bioetanol untuk keperluan energi perlu dihitung dengan matang-matang. Alih-alih mencapai NZE malah berdampak ketahanan pangan.

“Artinya yang perlu dibangun dari sisi ekonomi, ada aspek supply dan demand,” kata Deen.

Senada dengan hal tersebut, Joko menambahkan bioetanol dan biofuel merupakan transisi energi yang perlu dioptimalkan kendati masih menyimpan pekerjaan rumah, terutama soal ketersediaan bahan bakunya. Aspek lain yang perlu diperhatikan adalah kemampuan pabrikan menyesuaikan teknologinya.

“Biodiesel sulit untuk dicampurkan di atas 40 persen, 50 persen mungkin bisa tapi cukup menantang, perlu perubahan engine, valve dan segala macam. Mungkin lebih cocok untuk angkutan truk pertambangan, perkebunan di luar kota,” ujar Joko.

“Bioetanol ini tantangan juga, kita sulit untuk memperoleh bahan baku bioetanol dengan harga memadai. Sekarang di Surabaya, Jawa Timur itu dari molases. Dan itu harganya sangat tinggi, untuk kebutuhan industri mereka akan lebih mampu menyerap dibandingkan kebutuhan transport,” kata dia.

“Indonesia punya potensi, tapi generasi kedua bioetanol, itu sorgum, tandan kosong, palem, gabah tapi masalahnya itu teknologinya belum sampai sana. Engine masih sangat mahal, masih di tahap penelitian,” jelasnya.

Di sisi lain, hidrogen menjadi teknologi yang tidak boleh dikesampingkan. Deen sudah memulai penelitian terkait hidrogen. Penelitian ini berbasis kolaborasi dan dibiayai pemerintah serta beberapa pihak industri.

Tidak sendiri, UGM juga dibantu oleh universitas lain seperti Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Nanyang Technological University (NTU), hingga Universitas Groningen dari Belanda.

Fokus utama penelitian ini berkaitan dengan produksi green hydrogen. Jenis ini diproduksi dengan cara yang ramah lingkungan.

Meskipun prosesnya rumit, penelitian hidrogen akan memberikan banyak manfaat bagi kehidupan di masa depan. Tidak hanya digunakan sebagai sumber energi, hidrogen juga bisa diaplikasikan ke sektor lain seperti industri, transportasi, dan kelistrikan.

Kemudian pemanfaatan kembali bahan bakar gas (BBG) yang pernah dilakukan di Jakarta. Namun Deen menekankan perlunya edukasi yang baik kepada masyarakat.

“Sosial literasi BBG masih rendah. Ini permasalahan mendasar ketika program dibangun harusnya sosial literasi (digencarkan), (pemahaman) BBG masih rendah. Ini kan sebenarnya salah satu permasalahan mendasar,” kata Deen.

“Ketika pemerintah sudah mencanangkan 2031 kita mulai masuk ke hidrogen. Public knowledge tentang hidrogen belum mencukupi,” jelasnya lagi.

(riar/din)

Membagikan
Exit mobile version