Jumat, November 15


Jakarta

Subsidi untuk mobil listrik yang diberikan pemerintah Thailand untuk warganya memiliki efek samping. Industri otomotif yang menjadi salah satu penopang ekonomi negara itu diyakini menjadi kurang sehat.

Program subsidi kendaraan listrik di Thailand sudah dimulai sejak 2022 berdasarkan Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China. Program itu bertujuan agar mobil listrik lebih terjangkau. Pemerintah Thailand menawarkan subsidi hingga 150.000 baht (sekitar Rp 68 juta) per unit kendaraan listrik.

Perjanjian tersebut juga menghapuskan tarif atas kendaraan listrik impor asal China yang akan dijual di Thailand. Syaratnya perusahaan itu harus memproduksi mobil listrik di Thailand sejumlah mobil yang telah diimpor sejak 2022. Produksi lokal mobil listrik di Thailand harus dimulai tahun ini.


Namun, seperti dilansir Asia Nikkei, insentif mobil listrik dari pemerintah Thailand yang jorjoran itu memicu efek domino. Para tokoh industri mengatakan, efek dari insentif besar-besaran itu membuat kendaraan listrik di sana kelebihan pasokan. Ini juga memicu perang harga mobil bermesin konvensional. Bahkan, efeknya membuat pabrik mobil konvensional mengurangi produksi dan menutup pabrik, sampai produsen suku cadang yang gulung tikar.

“Penjualan mobil berbahan bakar fosil mulai turun setelah subsidi kendaraan listrik di Thailand. Produsen mobil Jepang paling terkena dampaknya karena mereka memproduksi sekitar 90 persen kendaraan fosil di negara tersebut,” demikian dikutip Asia Nikkei.

“Konsekuensi yang tidak diinginkan juga telah menyebar ke rantai pasokan (produsen komponen kendaraan), di mana setidaknya selusin produsen suku cadang telah tutup karena sebagian besar produsen kendaraan listrik China yang disubsidi tidak membeli dari sebagian besar produsen suku cadang tersebut,” tulisnya.

Efek samping dari subsidi kendaraan listrik ini jangan sampai menular ke Indonesia yang juga tengah beralih ke era elektrifikasi kendaraan. Sebab, industri otomotif Indonesia juga menjadi salah satu penyumbang besar perekonomian negara. Industri ini membuka 1,5 juta lapangan pekerjaan dari hulu ke hilir dan telah menyumbangkan 4 persen dari PDB Indonesia. Selain itu, produk otomotif dalam negeri juga diekspor ke berbagai negara.

Menurut pengamat otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Yannes Pasaribu, kehadiran kendaraan listrik bisa berdampak kepada pemasok komponen otomotif.

“Di Indonesia juga sudah sejak 2 tahun lalu dibahas oleh para perakit dan industri pemasok part tier 3 dan 2, bahwa sekitar 45 persen industri komponen, khususnya yang membuat parts mesin motor bakar akan tutup secara bertahap,” kata Yannes kepada detikOto, Rabu (31/7/2024).

Untuk itu, produsen otomotif maupun pemasok komponen harus beradaptasi dengan perkembangan zaman. Selain menghadirkan kendaraan listrik, kendaraan dengan bahan bakar terbarukan bisa dikembangkan.

“Beda Thailand dan Indonesia ada di model kebijakannya. Kalau Thailand full ke EV, sedangkan Indonesia memilih kebijakan teknologi berbasis energi baru dan terbarukan yang sifatnya bauran, alias campur sari. Karena, jika Thailand hanya punya sangat sedikit tambang nikel dan lithium, Indonesia terbesar di dunia. Thailand tidak punya sawit, Indonesia terbesar dunia,” ujar Yannes.

Makanya, Indonesia juga sedang mengembangkan bahan bakar nabati berupa biodiesel dan bioetanol. Biodiesel saat ini sudah mencapai 35 persen atau B35. Sedangkan bioetanol yang sudah diujicoba untuk umum baru mencapai 5 persen (Bioetanol E5).

“Produsen otomotif perlu mengembangkan parts motor bakar agar dapat mengonsumsi biofuel (B20, B30 hingga kelak B100) dan kelak bioetanol, terutama untuk kendaraan-kendaraan besar seperti truk dan lain sebagainya untuk pasar di luar Jawa. Populasi kendaraan pribadi di Pulau Jawa sudah padat, sesuai dengan kepadatan penduduknya yang tertinggi di Indonesia,” saran Yannes.

(rgr/dry)

Membagikan
Exit mobile version