Senin, Maret 3

Jakarta

Ketua Bidang Infrastruktur Telematika Nasional Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel), Sigit Puspito Wigati Jarot, menilai frekuensi 1,4 GHz merupakan solusi broadband di Indonesia. Namun, ia meminta agar Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) dapat lebih tegas dalam membuat regulasi pemenangnya.

Menurut Sigit, ketika pertama kali diumumkan ke publik, pita frekuensi 1,4 GHz diniatkan untuk meningkatkan penetrasi fixed broadband melalui layanan Broadband Wireless Access (BWA). Maka dari itu, pemenang seleksi nantinya, tidak menjadi penyelenggara selular. Tujuannya agar ada pembedanya antara layanan selular dan fixed.

“Komdigi harus memastikan pemenang tender lelang frekuensi 1.4Ghz hanya untuk memberikan layanan broadband fix dengan layanan 5G dengan kecepatan yang bisa dipastikan 100 Mbps. Bukan 4G seperti selular, sehingga bisa menjadi pembeda dengan selular,” ujar Sigit beberapa waktu lalu ditemui di Jakarta.


“Jika Komdigi tak tegas dalam membuat regulasi BWA sebagai, maka akan menimbulkan permasalahan persaingan usaha di kemudian hari. Pemerintah harus memiliki kejelasan mengenai persaingan usaha di lelang frekuensi 1,4Ghz apa lagi Komdigi akan membagi BWA ini menjadi beberapa regional,” sambung Sigit.

Agar iklim persaingan usaha dapat terus terjaga, Sigit berharap pemenang tender frekuensi 1,4 Ghz di satu regional dapat lebih dari satu pemenang dan tidak melebihi dari dua pemenang. Sigit melihat hingga saat ini Komdigi belum menjelaskan konsep BWA ini dari perspektif persaingan usaha dan menjaga komitmen minimum layanan yang harus diberikan kepada masyarakat kepada pemenang lelang frekuensi 1,4 Ghz.

Ia mencontohkan, misalnya Komdigi harus memberikan perbedaan layanan dan harga antara masyarakat di wilayah urban maupun rural. Jika tidak ada perbedaan yang diberikan, Sigit menilai Komdigi tak mengerti keunikan dari teknologi BWA.

Selain harga, Sigit juga meminta dalam lelang lelang frekuensi 1,4 Ghz Komdigi juga dapat memasukan kebijakan lokal dari penyelenggaraan BWA. Disampaikannya, jika ada ada lebih dari satu pemenang di salah satu zona, maka harus ada pembagian beban antara wilayah urban dan rural. Pembangunan di infrastrktur di daerah urban lebih mudah sehingga memiliki nilai ekonomis yang tinggi dibandingkan rural.

Dalam hal ini, Mastel meminta Komdigi juga harus memberikan perbedaan target pembangunan bagi pemenang tender lelang frekuensi 1,4 Ghz. Harusnya Komdigi sudah memiliki program prioritas pembangunan BWA di daerah rural dibandingkan urban.

“Karena objektif pemerintah dalam lelang frekuensi 1,4 Ghz adalah menghadirkan layanan broadband di daerah yang belum tersedia FTTH. Jika tidak ada program prioritas pembangunan maka akan sulit melihat apakah BWA yang dibangun pemenang lelang frekuensi 1,4 Ghz berhasil atau tidak,” terang Sigit.

Selain itu, jika pemenang lelang frekuensi 1,4 Ghz tidak segera membangun, Sigit mengatakan yang akan dirugikan adalah adalah negara dan masyarakat. Regulator telekomunikasi di Inggris memiliki perhitungan berapa besar kerugian yang didapatkan negara dan masyarakat ketika operator telekomunikasi pemenang lelang frekuensi tak memenuhi komitment pembangunannya.

“Komdigi selama ini tak memiliki perhitungan kerugian negara dan masyarakat ketika operator telekomunikasi tak memenuhi komitmen pembangunannya. Ini dapat dibuktikan dengan Komdigi yang santai saja dan tidak tegas menindak ketika ada operator telekomunikasi yang telat membangun,”pungkasnya.

(agt/afr)

Membagikan
Exit mobile version