Rabu, Maret 19


Jakarta

Pemerintah bergerak cepat menyegel lokasi wisata yang melanggar aturan lingkungan setelah Puncak dan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) babak belur dihantam banjir. Pakar mengingatkan pentingnya langkah lanjutan, yakni konservasi DAS Ciliwung secara menyeluruh, lahan resapan air harus dikembalikan, dan pembangunan di daerah rawan banjir harus dibatasi.

Tempat wisata yang ditutup itu dinilai telah melanggar tata guna lahan dan perizinan. Area yang seharusnya berupa hutan dan menjadi resapan air hujan justru disulap menjadi bangunan permanen. Luas area tempat mendirikan bangunan juga melebihi yang seharusnya.

Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, penyegelan yang dilakukan di Puncak itu akan terus dilakukan sepanjang DAS, mulai dari Puncak hingga Jakarta. Tempat wisata dan penginapan yang disegel itu adalah Hibics Fantasy Puncak–bahkan sudah dihancurkan–, Pabrik teh atau PT Perusahaan Perkebunan Sumber Sari Bumi Pakuan (PPSSBP), PTPN I Regional 2 Gunung Mas, Eiger Adventure Land termasuk fasilitas jembatan gantung, Vila Forest Hill, Vila Sifor Afrika, Vila Cemara, Vila Pinus, Gunung Geulis Country Club, Summarecon Bogor,
dan Bobocabin Gunung Mas Puncak.


“Kita di segmen satu dari DAS Ciliwung. Nah, segmen hulu ini ada di Kabupaten Bogor, kemudian segmen kedua ada di Kota Bogor, segmen tiganya kabupaten lagi, segmen empatnya Depok, segmen limanya dan enamnya di Daerah Khusus Jakarta,” kata Hanif, Kamis (6/3/2025).

Hingga kini proses pembenahan kawasan Puncak pun terus dilakukan sebagaimana yang diinginkan oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, untuk mengembalikan alam Jawa Barat seperti semula.

Di lain kesempatan, dalam acara Forum Group Discussion (FGD) tentang revisi Undang-Undang (RUU) 41 tahun 1999 terkait kehutanan, yang diselenggarakan di Jakarta, Selasa (18/3). Kesempatan tersebut menjadi momentum masyarakat untuk memberikan aspirasinya agar Undang-undang tersebut sepenuhnya berpihak kepada lingkungan dan juga masyarakat.

Menanggapi hal yang terjadi di Puncak, anggota Research Center for Climate Change Universitas Indonesia (RCCC-UI), Sunaryo, mengatakan jika sudah semestinya lahan di Puncak itu tidak sembarang dialih fungsikan. Mengingat kawasan tersebut adalah area vital untuk sumber resapan air dan konservasi.

“Gini, DAS yang merupakan daerah aliran sungai itu terdiri dari mulai Puncak sampai ke pantai, memang pengaruh curah hujan di Puncak itu jauh lebih tinggi dibandingkan di pantai. Karena apa? Terbentuknya curah hujan adalah uap air dari pantai yang terbawa angin ke puncak, sehingga memang di kawasan Puncak itu kawasan konservasinya harus tinggi untuk kepentingan konservasi DAS, konservasi air dan tanah,” kata Sunaryo.

Ahli dari RCCC-UI, Sunaryo. (Muhammad Lugas Pribady/detikcom)

“Itu konsekuensi dari keadaan alam seperti itu, di samping itu daerah-daerah rendaman di hilir di dalam DAS itu harus juga diperhatikan agar tidak dibangun karena itu daerah rendaman kalau limpasan air terjadi. Sehingga air bisa ditampung di situ, kalau dijadikan wilayah pemukiman ya konsekuensinya seperti itu,” dia menambahkan.

Jangan Hanya Sekadar Pembongkaran

Kemudian, Sunaryo juga menyebut jika dengan langkah yang saat ini tengah dilakukan oleh pemerintah itu merupakan upaya yang baik untuk lingkung di Puncak. Akan tetapi, ia mengingatkan untuk tidak berhenti di situ, harus ada langkah-langkah keberlanjutan lainnya.

“Di antaranya gubernur membongkar, me-review-lah kebijakan yang telah diputuskan pada masa lalu, ya itu pengaruhnya tapi memang harus totalitas kalau mau dibongkar, hijaukan lagi. Kedua, daerah-daerah rendaman yang dibangun menjadi pemukiman itu juga harus dikurangi, harus dibatasi, tidak boleh dibangun lagi,” kata Sunaryo.

Adapun ia menjelaskan langkah lain sebagai upaya totalitas mengembalikan kembali alam Jawa Barat adalah memperhatikan penempatan perlimpasan air yang baik. Hal itu dilakukan agar daerah pemukiman tidak terendam lagi.

Dalam kesempatan yang sama, Juru Kampanye Forest Watch Indonesia (FWI), Anggi Prayoga, menyatakan terjadinya banjir akibat dari hutan yang lahan hutan yang semestinya menjadi area konservasi beralih fungsi dan didirikan bangunan-bangunan.

“Jadi kan banyak lokasi-lokasi pemukiman warga yang terkena bencana banjir, karena apa? Karena satu, hutannya dirusak, kedua juga alih fungsi. Alih fungsinya dari mana? Yang tadinya daerah resapan air kemudian dibangun objek-objek wisata, pembangunan jalan, dan lain halnya,” kata Anggi.

“Saya pikir itu juga kita melihat bahwa ada fasilitasi kebijakan untuk merusak hutan dan mengalih fungsikan fungsi konservasi tadi menjadi fungsi budidaya,” dia menambahkan.

Sebagai informasi, FGD wacana RUU Kehutanan itu diselenggarakan oleh Yayasan KEHATI (Keanekaragaman Hayati) bersama Forum Dialog Konservasi Indonesia (FDKI) dan dihadiri oleh beberapa pakar di bidang hukum dan lingkungan hidup serta perwakilan dari Komisi IV DPR RI.

(upd/fem)

Membagikan
Exit mobile version