Minggu, Oktober 27

Jakarta

Sekelompok peneliti, yang dipimpin oleh ilmuwan iklim Sandro Vattioni dari ETH Zurich di Swiss, telah menghitung dan memperkirakan bahan mana yang paling cocok untuk metode stratospheric aerosol injection (SAI) atau injeksi aerosol stratosfer untuk pendinginan global. Mereka menemukan bahwa nanopartikel berlian senilai beberapa ratus triliun dolar dapat melakukan tugas mengatasi Bumi yang makin memanas.

Ide ini cukup gila karena sebelumnya tidak ada yang menyarankan SAI sebagai cara yang lebih baik untuk menghindari bencana iklim di masa mendatang. Sejauh ini, ada pilihan yang lebih aman dan jauh lebih murah seperti menghentikan pembakaran bahan bakar fosil .

Namun, studi semacam ini layak dipertimbangkan karena berbagai alasan. Cara ini mungkin dapat membantu kita menghindari skenario terburuk, atau menunjukkan kepada kita cara menghindari kesalahan yang merugikan. Latihan ini bahkan berpotensi menghasilkan studi tentang atmosfer eksoplanet eksotis yang jauh dari Bumi.


Dikutip detikINET dari Science Alert, selama puluhan tahun , para ilmuwan telah mempertimbangkan apakah pendangkalan atmosfer dengan partikel reflektif dapat memberikan cukup keteduhan untuk melawan efek pemanasan akibat gas rumah kaca yang berlebihan.

Dari semua pilihan, gas sulfur dioksida (SO2 ) mendapat perhatian yang signifikan, terutama karena kehadirannya yang dominan dalam sejarah panjang emisi vulkanik telah memberikan banyak contoh eksperimen alami bagi para peneliti.

Meskipun membuang puluhan juta ton gas ke atmosfer kemungkinan besar akan menurunkan suhu global rata-rata beberapa derajat, kita mungkin tidak menyukai efek sampingnya. Penipisan ozon, pemanasan stratosfer, dan kembalinya hujan asam hanyalah beberapa konsekuensi potensial yang perlu kita pertimbangkan.

Kini Vattioni dan timnya berpendapat bahwa kualitas fisik partikel sulfur mungkin menjadikannya pilihan material reflektif yang buruk. Dengan menggabungkan pergerakan, termodinamika , dan kimia dari tujuh aerosol hipotetis dalam model iklim, para peneliti memberi peringkat kesesuaian kandidat dalam hal penyerapan panas, reaktivitas, dan reflektivitas.

Menurut peneliti, salah satu faktor utama yang jarang dipertimbangkan adalah kecenderungan partikel untuk menggumpal atau mengendap saat tersuspensi dalam cairan seperti atmosfer. Partikel yang mengendap terlalu cepat mungkin terbukti tidak efektif dalam menyebarkan cukup sinar Matahari untuk mendinginkan planet ini. Partikel yang menggumpal terlalu mudah memerangkap panas, menghangatkan stratosfer dengan cara yang mengubah arus udara atau kapasitas untuk menahan kelembapan.

Jika diberi pilihan antara dua jenis titanium dioksida, alumina, kalsit, berlian, silikon karbida, dan sulfur dioksida, tidak ada pilihan lain selain menyuntikkan 5 juta ton kepingan berlian selebar 150 nanometer ke langit untuk mencapai pendinginan memadai. Menurut studi tersebut, partikel berlian tak hanya akan tetap berada di udara cukup lama untuk melakukan tugas dengan baik, mereka juga tidak akan saling menggumpal, juga takkan bereaksi membentuk zat beracun, menyebabkan hujan asam.

Mengenai partikel sulfur, satu-satunya material yang bernasib lebih buruk adalah bentuk titanium dioksida yang disebut rutil, yang gagal memberikan manfaat pendinginan apa pun. Satu hal yang membuat SO2 unggul adalah biayanya. Dengan perkiraan biaya USD250 per megaton, aerosol berbasis sulfur merupakan pilihan jauh lebih murah dibanding biaya debu berlian sebesar USD600 ribu per megaton, terutama jika total biayanya akan meningkat dengan cepat hingga mencapai puluhan atau ratusan triliun.

Mengingat tantangan dalam menerapkan pengukuran laboratorium dan model komputer pada kondisi dunia nyata, prediksi studi tersebut masih jauh dari kata pasti. Sebaliknya, temuan tersebut justru memperkuat seberapa jauh kita dari penerapan SAI sebagai solusi pemanasan global.

(rns/fyk)

Membagikan
Exit mobile version